[caption id="attachment_212821" align="alignleft" width="210" caption="Memotret wisat sosial lumpur sidoarjo/Lapindo"][/caption] Meskipun sudah hampir enam bulan berada di Surabaya. Sebagai perantauan (baca : anak kosan lagi). Tapi baru kemarin saya dapat mengunjungi "wisata sosial" Lumpur Lapindo atau versi lain menyebut lumpur Sidoarjo. Tidak ada yang salah dengan penamanaan tersebut. Hanya konteks dibalik nama saja. Nge-Kost di Wonocolo, Surabaya selatan yang berbatasan dengan Sidoarjo. Membuat jarak ke wisata tersebut sebenarnya tidak jauh untuk disinggahi. Dengan memacu Kharisma keluaran 2005. Ahad Sore yang cerah (16/9) waktu tempuh dari 40 menit tiba di lokasi. Seperti yang sudah umum diberitakan. Tanggul besar kurang lebih 15 meter memagar "wisata" tersebut. Seperti apa sih rupa dari balik tanggul tersebut ? saya membatin. Memasuki areal masuk, terdapat pos penjaga. Lebih tepatnya pos untuk duduk-duduk seperti pos ronda. Dimintanya uang Rp 5000 untuk tiket masuk. Hanya motor dapat melalui pos ini untuk naik ke tanggul tersebut. Sementara bagi yang ber-Mobil dapat diparkir persis bersebelahan dengan rel kereta api jurusan Malang. Praktis, saya membaui seperti bau kaos kaki basah yang dipakai terus didalam sepatu. Kebayang kan seperti apa. Jika belum terbayang. Mirip-mirip seperti ban bekas di bakar. Bagi yang pernah menyaksikan demo dengan aksi bakar ban bekas. Pasti tau bau khas tersebut. Itulah kesan pertama ketika tiba diatas tanggulnya. Setelahnya dijumpai endapan lumpur (sebagai sudah mengeras, sebagian lagi ada yang mengalir diantara ceruknya). Kembali menyusur ke selatan. Menjumpai serombongan berfoto-foto. Mungkin saja bukti pernah datang ke "wisata" ini kali ya. Saya pun juga tak ketinggalan memotret. Kemudian tak lama, seorang ibu mendekati dengan sopan menawarkan kaset VCD kejadian lumpur Lapindo itu. Terdapat tiga edisi yang dibuat berdasarkan tahun kejadian 2002 - 2006, 2006-2010, dan edisi lengkap 2002-2010. Harganya dibandrol Rp. 20 ribu dan Rp. 30 ribu (edisi lengkap). Entah darimana sumber pengambil gambar tersebut. Sebenarnya menarik juga melihat isi VCD tersebut. Namun, tidak bawa uang lebih saat itu. Dengan prolog sederhana yang seperti jadi template untuk menawarkan "silakan mas lihat dulu, kejadian lumpur yang merendam 13 desa di 3 kecamatan ini. Kalo yang ini...." kenapa saya bilang template. Selain ibu tersebut ada sekitar 5-6 orang yang juga menjaja VCD tersebut dengan prolog yang sama. Selepas, menawarkan VCD tersebut datang keluarga (ayah, ibu, dan satu orang putri). Mereka datang dari tangga yang disediakan di punggung tanggul tersebut. Artinya mereka datang ber Mobil. Melihat peluang ini, si Ibu tadi menawarkan hal yang sama. Hanya saja, saya dengarkan sambil menyeruput es tebu hijau yang tersedia. Ibu tersebut menawarkan Rp 50 ribu untuk VCD edisi lengkap. Maklum, mereka orang yang berduit. Lain, waktu silakan kunjugi wisata ini sekedar memotret lumpur dan membeli VCD tersebut. Atau ala saya memotret dan minum es perasan tebu manis seharga Rp 3000 saja. Berikut saya bagikan foto-foto jepretan sederhana saya. [caption id="attachment_212826" align="alignleft" width="210" caption="pemandang diatas tanggul"]
[/caption] [caption id="attachment_212828" align="alignleft" width="210" caption="Ibu penjaja VCD (baju orange)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H