Lihat ke Halaman Asli

Sugeng Nglajengaken Lampah, Pakde Didi

Diperbarui: 5 Mei 2020   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: kompas.com

"Budhee,,didi kempot meninggal lho", seru saya kepada budhe, panggilan kami kepada seorang perempuan yang biasa membantu pekerjaan rumah tangga kami.

"Weh, nggih (ya) to buk, kapan le mboten onten (kapan meninggalnya)?", sahut budhe.

"Niki wau (ini tadi) jam 07.45 beritanya", jawabku.

Tersebut adalah dialog yang terjadi atas kabar meninggalnya The Lord of Brokenheart yang sangat mengagetkan saya pagi ini, Selasa, 5 Mei 2020. 

Kabar tersebut saya peroleh dari ibu saya di grup whatsapp keluarga yang sangat tahu bahwa anaknya ini adalah bagian dari sobat ambyar. Ibu masih sangat ingat bagaimana saat kehamilan kedua saya, disaat harus lembur malam untuk mengerjakan tugas, lagu-lagu pak dhe didi selalu menemani saya dan saya pun terlarut dengan cendol dawetannya.

Tak lama, saya buka berbagai grup yang saya miliki juga sedang membahas tentang kabar meninggalnya penyanyi laki-laki paruhbaya yang lagu-lagunya membuat hati menjadi ambyar bagi yang mendengarkan. 

Ya, kata ambyar adalah salah satu dari judul lagu didi kempot untuk mengungkapkan perasaan marah, sebel, kesel yang sangat kebangeten. Bahkan saat ini kata ambyar juga digunakan untuk mengungkapkan perasaan yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata, maka yang keluar dari mulut adalah Ambyarrr.

Sebagai bentuk ungkapan kesedihan atas meninggalnya didi kempot tersebut, saya update status di WA. Tak disangka ada mahasiswa saya yang merespon dan berdialoglah kami yang intinya ternyata kita sama-sama sobat ambyar. 

Obrolan dengan mahasiswa saya mengingatkan kembali masa-masa dimana saya mulai mengenal lagu-lagu didi kempot, ya, tahun 1996 saat masih SD saya sudah mengenal lagu-lagu pak dhe (sapaan sobat ambyar kepada didi kempot). 

Terlebih saat SMP tahun 1998, kebetulan SMP saya di Surakarta, saat pulang ke rumah di Wonosobo saya selalu menikmati lagu-lagu pak dhe yang dinyanyikan oleh pengamen-pengamen Bus Kota disepanjang perjalanan. Hal itu juga kembali saya rasakan saat pulang ke jogja dari bekerja di Boyolali dan Salatiga tahun 2010. 

Lagu favorit saya saat itu adalah Sewu Kuto, Stasiun Balapan, Tanjung Mas, dan Plong. Tidak hanya lirik lagunya yang membuat hati ambyar, tapi lagu-lagu ini memiliki kenangan tersendiri bagi saya yang saat itu memang sedang nandang kasmaran tapi tak tau dia dimana. Hihihi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline