Lihat ke Halaman Asli

Aria Sumanti

Japanese Teacher

Sosialisasi ala Anak Jepang

Diperbarui: 15 Oktober 2019   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di dalam sosialisasi seseorang bertindak untuk dapat diterima di lingkungannya. Seorang anak harus belajar dari lingkungannya agar dapat mengerti perannya di dalam masyarakat. Menurut Philip Mayer sosialisasi adalah proses pelatihan seseorang dalam mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di dalam kehidupan sosialnya. Dalam proses sosialisasi seorang anak akan berusaha menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya. Seorang anak juga akan mengadakan hubungan sosial dalam suatu kelompok tertentu. Lingkungan keluarga adalah lingkungan awal seorang anak bersosialisasi, peran kedua orangtua sangat dibutuhkan dalam hal ini. Begitu pula dengan anak di Jepang, mereka memulai tahap sosialisasi dalam lingkungan rumah. Dalam keluarga Jepang peran ayah dan ibu sangat penting, namun setelah PD II peran ayah di Jepang di dalam keluarga yang berhubungan dengan proses sosialisasi anak sudah mulai tidak terlihat. Ayah terlalu sibuk bekerja, sehingga di Jepang dikenal degan ungkapan hatarakibachi (lebah pekerja). Peran ayah di dalam keluarga digantikan oleh ibu, dalam hal ini anak-anak di Jepang menganggap bahwa ibu mereka terlalu ikut campur dalam kehidupan mereka. Tuntutan masyarakat terhadap seorang anak membuat ibu membuat aturan yang ketat tentang pendidikan dan sosialisasi anak dengan lingkungan pertemanannya.

Anak akan memulai sosialisasi tingkat selanjutnya dalam lingkup pertemanan ketika mereka masuk ke dalam kelompok bermain. Dalam hal sosialisasi ini kehidupan di luar rumah akan dirasakan menyenangkan karena anak akan mulai menemukan jenis kegiatan baru selain di rumah. Mereka akan mulai bangga dengan kelompok pertemanannya, keberadaaan dirinya di dalam kelompok akan memberikan rasa percaya diri yang kuat. Dari kelompok pertemanan ini akan muncul sikap solidaritas dan hal inilah yang menjadi ciri khas Jepang dalam kelompok. Budaya Jepang mengutamakan harmonisasi dan mementingkan hubungan dengan orang lain.

Ketika seorang anak memasuki usia sekolah, proses sosialisasi lebih banyak direncanakan dan diarahkan oleh guru. Penanaman moral dan etika juga menjadi hal penting yang dilakukan sekolah dalam proses sosialisasi. Proses sosialisasi anak di sekolah akan terus berlangsung sepanjang anak tersebut bersekolah. Pada tahap ini anak juga sudah dapat membuat kelompok pertemanan berdasarkan solidaritas atau pertemanan senasib. Misalnya kelompok anak yang gagal dalam hal belajar di sekolah, kelompok anak tidak pandai dalam olahraga dan lain-lain. Dalam kelompok pertemanan ini juga terdapat peraturan kelompok yang telah disepakati bersama.

Anak-anak yang berada dalam kelompok pertemanan seperti ini akan menjaga harmonisasi kelompoknya, kerena itulah mereka akan selalu berusaha sama dengan anggota kelompok lainnya. Jika seorang anak dalam kelompok pertemanan tiba-tiba melakukan hal yang berbeda dengan anggota kelompoknya dapat mengakibatkan anak tersebut akan dikucilkan dan dijahili anggota kelompok yang lain. Bagi mereka dalam proses sosialisasi, berbeda dari orang lain tidaklah nyaman, baik itu dalam hal yang baik maupun yang buruk. Kebanyakan siswa di Jepang tidak ingin berbeda dari siswa yang lain, hal tersebut berakar dari adanya budaya orang Jepang yang mengutamakan harmonisasi ( Shindo 2015, 66). Anak-anak di Jepang belajar pentingnya kegiatan kelompok dan kerjasama melalui berbagai kegiatan di sekolah. Misalnya dalam kegiatan festival olahraga undoukai, mereka bekerja sama dengan teman-teman sekelas dalam kegiatan tersebut dengan satu tujuan menjadi kelas yang terbaik. Masih banyak lagi kegiatan sekolah yang mengutamakan kelompok dilaksanakan di sekolah Jepang, tetapi Menurut Shimizu Yoshihiro bahwa sekolah di Jepang kini juga lebih banyak menerapkan disiplin dan peraturan, akan tetapi ketatnya disiplin sekolah akan mengakibatkan rusaknya moral anak bangsa. Shimizu meragukan kondisi anak sebagai generasi penerus masyarakat dapat menghasilkan "anak bermoral" seperti yang dikonsepkan oleh Emile Durkheim.

Sosialisasi di sekolah tidak selalu serta merta berjalan dengan baik, apalagi jika sudah bicara tentang sosialisasi di dalam kelompok pertemanan di sekolah Jepang. Pemerintah Jepang dalam hal ini Ministry Of Education, Culture, Sport, Science and Tecnology masih memberi perhatian khusus pada masalah-masalah kekerasan dan masalah perilaku siswa di Jepang. Tekanan terhadap penilaian masyarakat tentang hasil belajar juga masih cukup tinggi di Jepang, karena hal itu terkadang anak-anak di Jepang harus belajar lebih keras ketika menghadapi ujian agar tidak mendapatkan cap "gagal" oleh masyarakat. Ijime atau penindasan bukanlah satu-satunya penyebab seorang siswa di Jepang memilih pengakhiri hidupnya, depresi karena tekanan masyarakat terhadap hasil belajar mereka juga menjadi penyebab kasus bunuh diri para siswa di Jepang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline