Lihat ke Halaman Asli

Ariasdi

Dunia Pendidikan

Meletakkan "Bohong, Hoaks dan Demagog" pada Tempatnya

Diperbarui: 18 Januari 2018   07:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: ibmajic.uk

Antara bohong, hoaks dan demagog beda-beda tipis. Irisan kata dari ketiga istilah tersebut adalah 'berita/kabar (news)'. Ada yang menambahkan 'palsu' dibelakangnya, sehingga menjadi berita palsu. Namun jika ditelisik, sesuatu yang palsu biasanya memiliki sosok yang asli, populer dengan istilah ori, singkatan dari original. Sedangkan 'palsu' sering dihubungkan dengan kualitas/mutu yang akrab dengan singkatan 'KW' (kwalitas). Tingkatannyapun beragam, seperti 'KW-1', 'KW-2' dan seterusnya. Semakin besar angkanya, semakin berkurang mutu benda tersebut.

Berita menjadi objek terpenting dalam berkomunikasi. Isinya adalah serangkaian informasi yang disampaikan oleh komunikator (penyampai berita) kepada komunikan (penerima berita). Informasi berupa gagasan atau perasaan, dikemas dalam bentuk bahasa dengan kode-kode (coding) yang dapat dipahami kedua belah pihak. Disampaikan secara verbal dan non-verbal.  Bentuknya terserah, sesuai kesepakatan. Bisa berupa gambar (diam/bergerak), grafis, suara, atau dengan bahasa tubuh (gestur dan isarat).

Inti dari komunikasi adalah persepsi. Komunikasi tidak akan efektif jika persepsi komunikan terhadap berita yang disampaikan komunikator tidak akurat. Sebagai contoh, seberapapun teriakan kemarahan seseorang, tidak akan berdampak kejut jika yang menerima kemarahan tersebut memiliki persepsi berbeda (gagal paham).

Kesalahan persepsi timbul karena prasangka (prejudice) yang dapat dikategorikan sebagai gangguan (noise) dalam berkomunikasi. Diperlukan satu kesatuan informasi yang utuh tanpa asumsi jika ingin mendapatkan kejernihan suatu berita. Informasi yang belum utuh serta dibumbui prasangka, bisa berakibat bencana jika di'viral'kan.

Baca: Viral; Obsesi "Kids Zaman Now".

Bohong dan hoaks menjadi diksi yang cukup populer dewasa ini. Saking terkenalnya, tidak jarang ditemukan pencampuradukan makna keduanya. Dahulu dianggap sebagai kebohongan, sekarang diambil alih dengan istilah hoaks.

Beda nasib dengan demagog. Kata yang satu ini kurang terdengar gaungnya karena memang jarang digunakan dalam bahasa interaksi sehari-hari. Belum 'booming', jika tidak ingin dikatakan sebagai salah satu kata yang kurang diketahui 'makna'nya.

Beberapa teori menyatakan bohong sebagai upaya menutupi kebenaran atau menyembunyikan kenyataan dengan menggunakan beragam metode. Upaya memutarbalikkan fakta melalui bahasa komunikasi tersebut hampir semua orang melakukannya.

Ilustrasi: readingtree.org & ariasdi

National Institute of Mental Health di Amerika merilis bahwa 100 orang yang diajak berinteraksi dalam seminggu, 38 orang diantaranya telah berbohong. Penyebabnya antara lain, faktor kepribadian yang memang gemar berbohong. Berbohong juga dilakukan sebagai perisai penyelamat diri. Bahkan ada yang menggunakan untuk meningkatkan status sosialnya.

Bohong dalam skala kecil biasa dilakukan oleh person to person. Dalam skala luas, kita mengenalnya dengan 'kebohongan publik'. Siapapun yang melakukan, bohong atau dusta telah menyembunyikan kebenaran. Serapih apapun menyelimutinya, sosok kebenaran/keaslian (ori) yang hakiki tersebut masih tetap ada.

Sedikit berbeda dengan bohong, hoaks merupakan rekayasa kejadian. Skenarionya dibuat sedemikian rupa, dengan menggunakan serangkaian teknologi dan segenap kreativitas. Jika bohong bisa dilakukan dan muncul secara spontan, sedangkan hoaks memerlukan perencanaan yang matang agar reaksi publik betul-betul tergiring dan hanyut ke dalam skenarionya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline