"Ibu, maaf, apa bisa kami online saja?", "Ibu, mengapa harus diberikan secara offline?", "Ibuuu? Mohon online."
Begitu kiranya keluhan sebagian mahasiswa yang merasa berat untuk melaksanakan perkuliahan secara offline, ini dikarenakan berbagai hal, dan salah satu yang tidak bisa saya pungkiri, adalah adanya harga kenaikan bahan bakar kendaraan bermotor.
Bagi mereka, kenaikan bahan bakar berarti kekurangan untuk monetasi yang mereka dapatkan dari orang tua. Mahasiswa perantauan, bahkan mahasiswa yang tinggal di rumah sendiri, merasakan dampaknya. namun bukan berarti kami sebagai pengajar, pendidik, dan juga pembimbing mereka di lingkup fakultas pantang menyerah. tidak ada yang dapat mengalahkan keunikan dalam belajar secara offline, interaksi dan juga sosialisasi yang lebih kekeluargaan daripada menatap ke layar yang tampak dingin dan sepi.
Apa yang saya rasakan selama masa pandemi, saat anak - anak didik harus melaksanakan perkuliahan secara online sangatlah berbeda, tatapan dingin dan rasa bosan mereka, apalagi saat mereka menutup webcam membuat hati saya pedih dan miris. Perkuliahan online tidak dapat memaksimalkan kinerja dan konsentrasi anak - anak mahasiswa. Terlebih, sebagai manusia di bumi ini, kita memerlukan interaksi dengan manusia secara langsung, kuliah offline tetap jawaban yang tepat untuk memaksimalkan skill dan kinerja mahasiswa.
Saya hanya dapat berharap, anak - anak didikan kami dapat terus maju dan berkarya di dalam keterpurukan ini, kenaikan bahan bakar berarti awal dari kenaikan barang yang tidak dapat dihindari. Mari sama- sama berdoa untuk negara Indonesia, semoga rakyat negara ini dikarunia kebahagiaan dan juga kesejahteraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H