Saat mendengar saran, "Bikin usaha sendiri aja" dari orang lain, apa yang pertama kali kita pikirkan? Paling-paling hanya: bagaimana caranya membuat barang ini laku, ya? Untung yang bakal didapat berapa, ya? Mereka yang telah berjualan secara online, memberi kesan berwirausaha bisa saja dilakukan. Asal ada kemauan.
Salah besar. Jangan dikira merintis usaha hanya sekadar menjual barang sampai laku. Sebab kesuksesan usaha---apa pun jenisnya---bukan sebatas mendulang laba dan balik modal semata. Usaha yang kita jalankan itu harus berkembang. Inilah yang sering dilupakan pelaku usaha pemula.
Memang bagaimana, sih, cara mengembangkan usaha? Kita ambil contoh bisnis yang sudah menembus pasar dunia: furnitur kayu. Saat melintasi jalanan, kadang-kadang kita berpapasan dengan workshop---sekaligus toko---furnitur kayu. Lihatlah bagaimana model dan desainnya. Perkirakan kekokohan kursi, meja, dan lemari yang dibuat para pengrajin itu. Menurutmu, apakah produk mereka bakal laris dibeli konsumen? Mungkinkan mereka mampu mengekspor kursi dan meja ke Eropa?
Jawabnya: bisa ya, bisa tidak.
Pengrajin furnitur yang produknya sering kita lihat di jalanan, adalah produsen yang memang membuat barang untuk segmen kelas menengah bawah. Sebab segmen itulah yang disasar, maka jangan heran jika mendapati desain produk yang pas-pasan. Kualitas kayu yang digunakan juga mungkin biasa saja. Pokoknya, yang penting barang bisa dipakai. Sehingga harganya sudah pasti jauh lebih murah dibanding furnitur yang dijual di IKEA atau Informa.
Apakah penjualan mereka bisa menembus pasar internasional? Bisa saja, asal para pengrajin itu mau meningkatkan kualitas produknya. Baik dari segi desain produk maupun kualitas bahan dasar. Seperti apa desain dan bahan yang berkualitas? Bagus dipandang dan tampak cantik secara estetika saja tidak cukup! Produk harus dibuat memenuhi standar ergonomi. Sehingga tak hanya menghiasi ruangan, namun juga fungsional.
PERLUASAN PEMASARAN
Selanjutnya, para pengrajin harus giat memasarkan produknya. Bagian ini sama sulitnya dengan mencari ide desain, lho. Sebab mereka harus jeli melihat pasar dan mengenal selera konsumen pada masing-masing segmen. Lantas menakar dengan cermat, segmen konsumen mana yang bakal tertarik dengan produk buatan mereka.
Menawarkan barang, kan, tidak bisa asal-asalan? Meja makan multifungsi yang bisa dilipat dengan desain skandinavian kemungkinan besar tidak akan laris di kalangan konsumen yang tak peduli dengan desain interior rumah. Sebaliknya, rak piring berbahan besi ringan dengan desain 'pokoknya jadi', tak bakal dilirik oleh konsumen yang menjunjung tinggi konsep estetika ruangan.
Harus ke manakah para pengrajin ini memasarkan produknya? Ada banyak wadah pemasaran yang bisa dimanfaatkan. Diantaranya marketplace dan pameran internasional. Pemasaran melalui marketplace relatif lebih mudah, sebab bersifat bebas dan terbuka. Siapa pun dapat menjual produknya di situ tanpa seleksi macam-macam. Kekurangannya, konsumen tidak dapat melihat langsung barang yang hendak dibeli.
Pameran internasional sebaliknya, yang boleh ikut bukan sembarang orang. Barang yang hendak dipamerkan pun dikurasi terlebih dahulu. Syaratnya memang bertele-tele, tapi justru di situlah letak manfaat pameran bagi produsen. Mereka bakal bertemu dengan konsumen sesuai segmen produk. Sebab konsumen yang hadir juga tak mungkin sembarangan.
Kita punya pameran internasional tahunan, produk yang dipamerkan berasal dari beragam sektor ekonomi. Trade Expo Indonesia namanya. Pameran itu diselenggarakan di ICE BSD, Tangerang Selatan. Boleh dibilang, TEI adalah pameran ekspor terbesar di Indonesia. Tujuan penyelenggaraannya apalagi kalau bukan memasarkan produk unggulan Indonesia kepada konsumen mancanegara.