Lihat ke Halaman Asli

Arianto

Freelancer

Mengada-ada Swasembada

Diperbarui: 28 Mei 2019   09:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ada harga yang harus dibayar untuk tiap kebohongan. Tak peduli betapa tebal manusia melapisinya dengan aneka rekayasa. Kebenaran bakal terungkap jua. Cepat atau lambat. Inilah yang sekarang terjadi pada program Swasembada Pangan di Indonesia.

Tanpa bermaksud memihak. Sesungguhnya kita tak perlu menuduh Jokowi ingkar janji. Sebab yang perlu dicurigai adalah para pelaksana tugas, yang ditunjuk utuk mewujudkan target presiden. Dalam hal ini, tentu saja Kementerian Pertanian.

Untuk siapakah mereka bekerja? Alih-alih bikin bangga, cara dan hasil kerjanya justru merusak kepercayaan rakyat kepada presiden. Tak ada yang istimewa dari kinerja sektor pertanian. Tiada inovasi pengolahan lahan. Perbaikan sarana dan prasarana penunjang pertanian pun jauh dari harapan. Hasil produksi tak seberapa. Hingga sampailah kita pada puncak kegagalan sektor pertanian: Swasembada pangan yang gagal terwujud.

Badan Pusat Statistik mencatat, produksi padi Januari-September 2018 mencapai 49,65 juta ton gabah kering giling (GKG). Jika ditarik hingga akhir tahun, total produksi diperkirakan 56,54 juta ton. Konversikanlah GKG menjadi beras, maka kita memperoleh angka 32,42 juta ton. Itulah beras yang kita dapat selama setahun dengan luas panen 10,90 juta Ha.

Sedangkan konsumsi beras nasional pada 2018 adalah 29,57 juta ton. Hanya selisih dua jutaan ton saja dari 32,42 juta ton. Kelebihan itu terlalu sedikit untuk diakui sebagai swasembada. Apalagi ini belum terbukti berkelanjutan. Perlu diingat, di tahun-tahun terdahulu ---tak peduli siapa pun presidennya--- kita masih mengimpor beras untuk menutupi kekurangan stok nasional.

Satu lagi hasil produksi pertanian serta perkebunan yang bikin geger: Jagung! Tahun lalu, kelompok peternak ramai-ramai melancarkan protes, meminta pemerintah segera bertindak untuk menekan harga jagung yang kala itu melonjak. Keadaan jadi runyam, ketika Kementan malah memamerkan ekspor jagung sekitar 300.000 ton. Betulkah? Hanya rumput bergoyang yang tahu buktinya.

Tindakan heroik itu seolah menunjukkan bahwa Indonesia sudah swasembada jagung, sehingga mampu memenuhi kebutuhan jagung untuk peternak-peternak lokal. Kementan pun berani menyetop impor jagung pakan secara bertahap sejak 2016. Dengan amat bangga pula! Padahal gara-gara penyetopan itu, peternak beralih memakai gandum untuk bahan baku pakan. Kalang kabut sudah para peternak kita. Harga daging melambung, tak sedikit dari para peternak yang nyaris, bahkan beberapa sudah, gulung tikar  

Lagi-lagi klaim surplus keluar dari kementerian tersebut. Tahun lalu, mereka menyebut produksi jagung sepanjang 2018 mencapai 30,56 juta ton dengan luas lahan panen 5,73 Ha. Kemudian dengan kebutuhan pakan ternak sebanyak 7,76 juta ton, untuk peternak mandiri 2,52 juta ton, dan industri lainnya sekian ton, kita masih punya sisa belasan juta ton jagung.

Sisa yang sangat banyak, bukan? Tapi mengapa tahun lalu para peternak ribut, berebut stok jagung murah demi mengolah pakan ternak? Mengapa harga jagung melonjak, jika memang pasokannya begitu melimpah? Mengapa akhirnya keran impor dibuka juga?  

Bagaimana Kementan mengelola dan mengatasi persoalan pada kedua komoditas strategis itu?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline