Badan Usaha Logistik atau Bulog adalah kisah usang yang tidak pernah tutup buku. Peran sentral Bulog dalam pengadaan, peredaran, pengendalian harga dan persediaan beras untuk rakyat diawal rezim orde baru sudah mengundang kegelisahan di media berpengaruh padamasa itu.
Bulog menjadi sorotan karena terlibat pengadaan, penjualan dan pendistribusian beras secara gelap. Tidak kurang Komisi Empat dengan penasehat Proklamator Mohamad Hatta yang dibentukoleh Presiden Suharto menyoroti kasus ini pada tahun 1970.
Sebagaimana banyak upaya cuma-cuma pemberantasan korupsi di awal Orde Baru, hasil penyelidikan tersebut menguap begitu saja. Malah Presiden Suharto memperkuat peran Bulog sebagai pengendali harga beras, gabah, gandum dan bahan kebutuhan pokok lainnya ditahun 1978. Monopoli itu semakin menguat manakala di tahun 1993 jabatan Kepala Bulog dirangkap oleh Menteri urusan Pangan. Bulog mengurusi semua aspek pangantermasuk gizi pangan.
Monopoli Bulog yang ditanam sejak rezim orde baru menjadi bom waktu di era reformasi. Skandal Bulog lah yang mendorong rencana impeachment yang berujung pengunduran diri Presiden Abdurrahman Wahid. Skandal yang sama pula yang menyeret mantan Ketua DPR AkbarTanjung ke kursi pesakitan sebagai terdakwa korupsi Bulog. Akbar Tanjung memangdi putus bebas di tingkat kasasi tetapi karir politiknya harus berhenti.
Perubahan bentuk Bulog sebagai Perusahaan Umum di tahun 2003 sejenak memberikan angin segar. Dengan status ini maka Bulog adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Ada harapan, selayaknya BUMN profesional, Bulog akan dikelola dengan prinsip Good Governance. Apalagi Bulog kembali difokuskan mengurusi logistik terutama beras. Bulog melakukan pengadaan gabah dan berasa untuk kebutuhan dalam negeri. Bulog menyediakan dan menyalurkan beras bersubdisi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendan. Dan terakhir, Bulog menyediakan dan menyalurkan beras untuk stabilitas harga berasdalam bentuk pengelolaan cadangan beras pemerintah.
Upaya untuk menciptakan Good Governance di Bulog ini tiba-tiba terusik dengan keputusan monopoli Bulog untuk impor bawang putih. Di luar masalah utama Bulog terkait urusan beras, monopoli Bulog ini berpotensi menjadikan kembali Bulog sebagaimana fungsinya pada masa orde baru.
Monopoli sarat dengan penyalahgunaan kekuasaan. Monopoli penuh dengan pencari rente. Dan di tengah budaya keterbukaan yang terus didorong oleh pemerintahan maka rencana monopoli bulog ini adalah sebuah kemunduran besar untuk menegakkan BUMN yang bersih dantransparan.
Monopoli impor bawang putih oleh Bulog juga berimbas pada pihak swasta. Tidak ada ruang partisipasi untuk pihak swasta mengambil peran. Padahal sektor swasta di era pemerintahan sekarang ini diharapkan mengambil peran lebih dalam mendorong kemajuan ekonomi nasional. Monopoli meniadakan persaingan maka tidak hanya pihak swasta, masyarakat punakan dirugikan.
Rakyat berhak tahu, apa dan siapa di balik kewenangan monopoli impor bawang putih Bulog ini. Siapa yang memaksakan-kehendak untuk keputusan ini. Siapa menteri terkait yang sebenarnya paham bahaya monopoli ini tetapi terkesan malah mendorongnya.