Lihat ke Halaman Asli

Ariansyah S.Si

Mahasiswa Magister Pendidikan IPA di Universitas Pendidikan Mandalika

Kajian Etnozoologi Kuda Bima dalam Kehidupan Masyarakat Bima

Diperbarui: 3 Desember 2023   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar dibuat menggunakan aplikasi BING 

Oleh: Ariansyah, Mahasiswa Magister Pendidikan Sains UNDIKMA.

Pendahuluan

Etnosains, berasal dari bahasa Yunani "ethnos" yang berarti "bangsa" dan "scientia" yang berarti "pengetahuan," adalah studi tentang pengetahuan ilmiah lokal atau pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat tertentu. Pengetahuan ini dapat mencakup berbagai aspek lingkungan alam, seperti tumbuhan, hewan, dan fenomena alam, serta bagaimana pengetahuan ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Etnozoologi merupakan bagian dari etnosains yang mempelajari hubungan antara manusia dan hewan. Etnozoologi adalah bidang interdisipliner yang mempelajari hubungan antara manusia dan hewan, dengan fokus pada bagaimana hewan digunakan, dipahami, dan direpresentasikan dalam berbagai budaya. Etnozoologi memanfaatkan berbagai disiplin ilmu, termasuk antropologi, biologi, ekologi, linguistik, dan sosiologi, untuk mengeksplorasi cara-cara kompleks dan beragam dimana manusia berinteraksi dengan hewan.

Salah satu contoh kajian etnozoologi yang menarik adalah budaya pemeliharaan kuda di masyarakat kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Kuda Bima, yang dalam bahasa setempat disebut jara, adalah jenis kuda yang memiliki ciri khas tubuh yang kecil, kuat, tahan segala medan, dan mudah dijinakkan. Kuda Bima memiliki peran penting dalam sejarah, budaya, dan ekonomi masyarakat Bima.

Sejarah Kuda Bima

Kuda Bima sudah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit pada abad ke-12 Masehi. Kuda Bima dibeli dan dijadikan kuda perang dan kuda pekerja oleh berbagai wilayah kerajaan di Nusantara. Bahkan, pada zaman kekhalifahan Utsmaniyah, kuda Bima menjadi komoditas ekspor yang diperdagangkan sampai ke Istanbul, Turki, pusat khalifah Islam Utsmaniyah.

Kuda Bima juga berkaitan erat dengan penyebaran Islam di wilayah Bima. Para penyebar Islam datang ke daerah tersebut bersama pasukan berkuda pada abad ke-17 Masehi. Sejak itu, kuda menjadi simbol keagamaan dan kebudayaan bagi masyarakat Bima.

Pada zaman kolonial Belanda, kuda Bima mulai digunakan untuk pacuan kuda, yang disebut Pacoa Jara. Pacuan kuda ini pertama kali diadakan pada tahun 1927 untuk merayakan hari kelahiran Ratu Wilhelmina. Sejak itu, pacuan kuda menjadi tradisi dan hiburan bagi masyarakat Bima dan Sumbawa.

Budaya Seputar Kuda Bima

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline