"Tidak penting apa pun Agama atau Sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu" --Gusdur--
Kalimat di atas merupakan sebuah renungan diri yang saya lakukan ketika tak kunjung bisa tidur di saat malam beberapa minggu belakangan ini. Ada rasa gelisah dan gundah mengenai kondisi bangsa dewasa ini. Rasa-rasanya 74 tahun negara ini merdeka, intoleransi belakangan muncul sebagai entitas baru yang masif dan mengkhawatirkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Intoleransi atas dasar apapun baik agama, suku atau apapun sejatinya memang harus diperangi. Bahaya akan dampak aksi ini begitu mengakar dan menyebabkan kebencian yang tak kan pernah kunjung padam.
Lalu dimana peran keluarga seperti yang saya singgung di atas? Keluarga adalah saringan pertama untuk seorang anak dalam mendapatkan informasi dan mengenyam pendidikan awal ketika si anak belum memasuki usia sekolah. Peran orang tua sangat penting untuk mengajarkan nilai toleransi, rukun terhadap sesama dan menghargai perbedaan. Amalan Pancasila dibutuhkan sejak dini, dimana dasar-dasar perbedaan harus dimaknai sebagai sebuah kekayaan bangsa.
Berbeda dalam hal apapun menjadi sah-sah saja, namun yang patut diingat adalah kita saudara dalam sebangsa dan setanah air, atau yang paling lahiriah adalah bersaudara dalam kemanusiaan. Ajaran-ajaran ini harusnya ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya agar kelak ketika dewasa si anak mempunyai fondasi kokoh untuk memaknai perbedaan dan menghargai orang yang berbeda dengannya,
Contoh kasus yang pernah terjadi yaitu di SMAN 8 Yogyakarta yang mewajibkan semua pelajar mengikuti kegiatan perkemahan pramuka yang mana pada saat acara tersebut akan dilaksanakan, ada hari libur keagamaan bagi pelajar nonmuslim untuk beribadah Tri Hari Suci Paskah.
Kasus ini jika ditelisik lebih jauh harusnya tidak terjadi jika koordinasi antar guru dan pihak Disdikpora bisa berjalan dengan baik. Kegiatan yang melibatkan semua pelajar di sekolah tentunya harus menimbang batas-batas lahiriah mereka dalam menajalankan agama yang mereka yakini.
Kasus lain, saya ingin bercerita sebuah pengalaman seorang teman yang senantiasa mengajarkan niai-nilai toleran terhadap anaknya dan bahkan terhadap keluarga besarnya.
Waktu itu ketika di rumah kakak kandungnya, Teman saya menyaksikan sendiri bagaimana keponakannya berbicara kepada ibunya bahwa dia tidak ingin bermain dengan salah satu teman dikarenakan teman tersebut tidak pakai jilbab.
Apa respon sang ibu? Hanya tersenyum dan ketawa saja. Spontan teman saya ini langsung menegur ibunya dan berbicara kepada keponakannya untuk memberikan pengertian bahwa jika dia tidak ingin bermain bersama temannya tersebut bukan karena si teman tidak memakai jilbab atau berbeda agama, tetapi alasannya karena dia nakal atau bandel. Itu alasan yang bisa diterima dan bisa dipahami dengan baik.