Lihat ke Halaman Asli

Ariana Novadian

Psikolog klinis dewasa yang berdomisili dan berpraktik di Jakarta

Termometer Emosi sebagai Pengendalian Diri

Diperbarui: 18 Maret 2022   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari balik ruang konsultasi...

"Kenapa ya sekarang saya merasa mudah sekali marah, gak bisa dengar kalau anak  merengek, bawaannya ingin teriak".

"Sepertinya sudah tiga bulan terakhir ini, saya merasa mudah lelah, sulit konsentrasi, mudah lupa dan susah tidur"

"Saya bawaannya kok capek banget, padahal gak ngapa-ngapain... sudah sebulanan ini"

Pernahkah anda merasakan hal serupa? Ungkapan-ungkapan tersebut menyiratkan adanya perubahan yang dirasakan pada diri dari tanda-tanda yang diberikan oleh emosi, pikiran, fisik ataupun ketubuhan seseorang. 

Selain itu, dari pernyataan tersebut, kita dapat lihat bahwa "kesadaran" akan adanya suatu perubahan yang dialami, ternyata membutuhkan waktu yang tidak sama pada setiap orang. Ada yang membutuhkan waktu mingguan tetapi ada yang baru menyadarinya setelah berbulan-bulan. Bahkan bisa terjadi lingkungan atau orang terdekat yang terlebih dulu mengenali perubahan tersebut.

Suatu perubahan sangat mungkin terjadi karena kehidupan yang kita jalani memang bukanlah suatu keadaan yang statis. Setiap perubahan akan menimbulkan keadaan yang tidak seimbang atau dikenal dengan kondisi stres. 

Stres pada dasarnya bersifat netral, namun dapat berdampak positif atau negatif tergantung pada persepsi orang yang mengalaminya dan kadar dari sumber stress itu sendiri. Bagaimanapun juga, secara alamiah setiap orang akan berupaya menemukan keseimbangannya kembali.

Saat suatu perubahan menimbulkan pikiran, perasaan atau ketubuhan yang bersifat negatif, sebenarnya hal tersebut menandakan alarm mental kita sedang aktif atau menyala. Mengapa demikian? Karena kondisi mental selalu terkait dengan kerja pikiran, emosi dan ketubuhan seseorang. Sehingga dengan mengamati sinyal dari tiga unsur tersebut, kita dapat mengetahui kondisi mental diri sendiri. Sayangnya pada beberapa orang sinyal tersebut sering diabaikan, kurang diperhatikan bahkan tidak diakui keberadaannya.

Ungkapan seperti "ah kok jadi begini, cemen ini namanya" di saat kita sebenarnya merasa sedih dan mau menangis. Atau "saya kuat kok, saya gak apa-apa" , di saat kita merasa sangat syok, detak jantung juga terasa sangat kuat menghadapi situasi tertentu. Ungkapan-ungkapan demikian, merupakan bentuk respon yang tidak jujur dalam menanggapi alarm mental yang sedang aktif. 

Padahal sebagaimana fungsi suatu alarm, sinyal diberikan untuk kita perhatikan, terima dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mempermudah urusan kita. Begitu pula dengan fungsi alarm mental, saat memberikan sinyal, maka respon kita sebaiknya juga dengan mengamati, menerima dan memanfaatkannya untuk memahami diri lebih baik. Oleh karenanya kesadaran diri memiliki peran penting bagi seseorang untuk melakukan perubahan atau memperbaiki diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline