Kemunculan awal COVID-19 hingga menjadi pandemi beberapa waktu lalu mengajarkan kita banyak pelajaran. Paling tidak di antara sekian banyak pelajaran, satu yang paling kita ingat adalah saat pemerintah didesak untuk memberikan keputusan cepat dan harus berkejar-kejaran dengan jumlah penderita COVID-19 yang pertambahannya jauh lebih cepat dari proses pengambilan keputusan itu sendiri.
Keputusan yang baik tentu saja harus merupakan suatu keputusan yang berbasis bukti alias keputusan berbasis data agar memiliki dasar yang dapat diterima berbagai pihak secara objektif.
Akhirnya, pandemi memberikan tamparan besar kepada kita bahwa tata kelola atau governance data kesehatan di Indonesia selama ini masih merupakan sebuah pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan segera.
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk menjadi moderator pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Transform Health Indonesia (THI), Youth Health Hub Indonesia (YHHI), dan Center for Indonesian Medical Students' Activities (CIMSA).
Diskusi publik tersebut membahas mengenai pentingnya data kesehatan untuk kemajuan kesehatan, peranan digitalisasi data kesehatan dalam pengelolaannya, hingga isu-isu terkait etika dan keamanan data di era teknologi yang kian hari semakin berkembang.
Sebagai pemantik, saya menceritakan pengalaman saya saat bekerja di Puskesmas kepada para pembicara dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan UGM serta dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) cabang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Saya bercerita bahwa selama di Puskesmas, seorang dokter misalnya, tidak hanya berkutat pada tindakan-tindakan kuratif seperti memberikan pelayanan kesehatan di poli Puskesmas, namun lebih dari itu, kemudian data juga harus dimasukkan ke rekam medis cetak, lalu tak jarang juga turut menyalinnya ke rekam medis elektronik.
Setelah itu, biasanya sepulang dari jam kerja Puskesmas, kami akan berkunjung ke Posyandu-posyandu yang merupakan naungan dari Puskesmas kami. Mencatat data data tinggi badan, berat badan, dan lain sebagainya terkait status nutrisi anak, ke dalam tabel-tabel yang sudah kami buat sebelumnya.
Akhirnya saya berpikir bahwa Indonesia sebenarnya sangat kaya akan data kesehatan, namun miskin akan informasi. Bagaimana tidak, sering kali data tersebut terbengkalai begitu saja tidak diolah lebih lanjut apalagi diinterpretasikan.
Data-data tersebut lalu hanya mendekam di dalam kertas yang menumpuk di ujung ruang kepala Puskesmas atau ruang kepala tata usaha Puskesmas, yang sewaktu-waktu jika data tersebut diminta untuk diolah, para pegawai akan sibuk mencari-cari mana kertas yang menyimpan data yang kemarin mereka butuhkan.