Lihat ke Halaman Asli

Ariana Maharani

TERVERIFIKASI

MD

Kekuatan Senyuman Seorang Dokter

Diperbarui: 7 September 2023   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Freepik/Benzoix

Berbicara mengenai hubungan seorang dokter dengan pasien, diperlukan komunikasi dua arah antara keduanya, untuk membantu mencapai tujuan bersama, yakni kesembuhan pasien. Komunikasi tersebut dapat berupa komunikasi verbal maupun non-verbal. Salah satu bentuk komunikasi non-verbal dokter dan pasien yang begitu penting kiranya ialah senyum. Sebegitu pentingnya komunikasi untuk membantu mencapai tujuan bersama, yaitu kesembuhan, kiranya, membuat penulis berpandangan bahwa senyum merupakan salah satu kewajiban seorang dokter.

Selelah apa pun seorang dokter, sebanyak apa pun pasiennya di hari itu, dan entah seberapa menyebalkannya hari itu bagi seorang dokter, ia wajib tersenyum. Saya menyadari bahwa hal tersebut sudah menjadi konsekuensi yang harus diemban seorang dokter sejak saat ia menerima sumpah dokter untuk tetap dapat mengutamakan profesionalitas dan memberikan pelayanan terbaik kepada pasien walau kondisi dirinya saat itu mungkin sedang terombang-ambing. Bisa jadi di hari itu sang dokter memiliki masalah dengan keluarganya, perekonomiannya, dirinya sendiri, atau bahkan gabungan ketiganya. 

Alkisah, sehari-hari terdapat seorang dokter umum yang ditugaskan di sebuah klinik pratama yang jaraknya lumayan jauh dari pusat kota dan jauh dari fasilitas kesehatan tingkat lanjutan seperti rumah sakit. Seluruh masyarakat di wilayah ini mengandalkan klinik tersebut apa pun penyakitnya. Masyarakat hampir tak mengenal dokter spesialis. Mereka hanya mengetahui dokter umum. Dengan demikian, dokter umum memiliki peran besar di tengah-tengah masyarakat di wilayah tersebut. Betapa dibutuhkannya sang dokter di daerah tersebut hingga dalam satu hari ada puluhan hingga pernah menyentuh angka ratusan pasien yang datang ke klinik tersebut.

Di klinik yang teramat ramai tersebut, sang dokter biasanya menghadapi tiga fase. Jika masih pagi-pagi sekali, senyum masih terlukis di wajah sang dokter, jika siang senyumnya berkurang menjadi setengah, dan jika sore, senyumnya pun hampir pudar hingga sepenuhnya pudar. Pasien di sore hari kemudian berpikir bahwa sang dokter tak senang bertemu dengannya, lalu pasien yang lain di sore hari itu berpikir bahwa mungkin sang dokter memang tak terbiasa tersenyum. Padahal, jika para pasien bertemu dengan dokternya di pagi hari, mungkin pasien akan mendapati sang dokter sedang tersenyum lebar dan memberikan senyumnya yang paling manis.

Sebagai dokter, saya memahami bahwa bisa jadi saat itu sang dokter hanya sedang lupa untuk tersenyum. Dengan kata lan, tentu tidak ada maksud dari sang dokter untuk menunjukkan bahwa ia tak senang bertemu dengan pasiennya, dan dengan kata lain lagi, sering kali seorang dokter terlupa bahwa sebenarnya senyum adalah bentuk komunikasi yang paling diharapkan para pasiennya.

Sebuah jurnal yang berjudul "What's in a smile? A review of the benefits of the clinician's smile" oleh Andrew dkk pada tahun 2019 menyebutkan bahwa senyuman dapat menjadi sebuah social reward bagi seseorang yang menerima senyuman tersebut dan lalu turut merasakannya, mengaktifkan sistem reward di dalam otak melalui sejumlah area seperti ganglia basalis, korteks prefrontal, dan amigdala. Penelitian menggunakan MRI menunjukkan bahwa pada ibu, otaknya mengalami aktivasi yang signifikan dalam daerah pemrosesan reward yang terkait dengan dopamin sebagai respons terhadap senyuman sederhana dari bayinya. 

Pada akhirnya, melalui tulisan ini, penulis berharap agar para teman sejawat, yakni para dokter, untuk tak bosan memberikan senyuman kepada para pasiennya walau mungkin perasaan hati dokter sedang tak bersahabat, atau mungkin walau sedang memiliki banyak pikiran, ataupun walau sedang tak karuan. Namun ,dokter tetaplah seorang manusia, seorang dokter tak luput dari kesalahan, sehingga jika sesekali dokter di wilayah Anda lupa untuk tersenyum, kiranya kami mohon untuk dimaafkan. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline