Setiap jadwal berjaga pagi di Instalasi Gawat Darurat rumah sakit, saya sering bertemu pasien dengan kondisi tidak gawat darurat datang ke rumah sakit untuk memeriksakan penyakitnya.
Saya bertanya kepada pasien dan keluarga pasien, apakah ada Puskesmas di dekat rumah ataupun Puskesmas yang dilewati mereka selama perjalanan pasien ke rumah sakit kami. Saya yakin tentu saja ada Puskesmas di perjalanan yang mereka tempuh kesini, mengingat jarak antara rumah sakit dengan rumah pasien adalah kira-kira kurang lebih lima belas kilometer.
Pasien kemudian berterus terang menjawab bahwa mereka melewati satu buah Puskesmas. Pasien menyampaikan meskipun demikian, mereka ingin sekali berobat ke rumah sakit, karena mereka tidak percaya terhadap Puskesmas dan menganggap obat Puskesmas tidak selengkap obat-obatan di rumah sakit serta memahami bahwa obat apapun terdapat di rumah sakit. Pada momen tersebut saya kira bisa jadi pasien benar, bisa jadi pasien salah.
Bisa jadi pasien benar, dikarenakan pada praktiknya di lapangan, saat saya bekerja di Puskesmas satu tahun yang lalu, saya memahami bahwa obat yang seharusnya wajib terdapat di Puskesmas atau esensial tidak tersedia saat itu. Saya menanyakan apoteker penanggung jawab mengapa Puskesmas kami bisa-bisanya tak memiliki obat batuk pilek.
Apoteker menjawab bahwa ia telah mengajukan daftar kebutuhan obat untuk periode itu, namun apa daya para apoteker memang hanya dapat mengajukan. Dinas Kesehatan yang berwenang membalas pengajuan tersebut.
Pada akhirnya, pasien tak mendapatkan obat untuk penyakitnya di Puskesmas, pasien lalu diberikan obat alternatif yang mungkin bukan obat yang paling tepat untuknya, dan beberapa situasi bahkan pasien diminta untuk membeli obat di apotek di luar Puskesmas.
Sebaliknya bisa jadi pasien salah. Anggapan pasien bahwa obat Puskesmas tidak lengkap, bisa jadi dibentuk oleh pengalaman pasien yang kemudian membentuk asumsi yang salah.
Sebagai contoh, saat pasien diberikan obat yang sudah sesuai dengan penyakit yang ia derita, kemudian pasien masih belum mendapatkan kesembuhan dari obat yang ia dapatkan, pasien lalu menarik kesimpulan bahwa obat Puskesmas adalah obat yang tidak mampu menyembuhkan penyakitnya.
Padahal, banyak faktor yang mempengaruhi tingkat respon pasien pada obat-obatan. Dari segi kepatuhan frekuensi, waktu konsumsi, hingga interaksi obat dengan obat-obatan lain ialah dapat berpengaruh.
Dalam hal ini, edukasi seorang tenaga kesehatan, seperti dokter dan apoteker menjadi begitu penting. Asumsi yang salah pun juga dapat terbentuk di saat pasien menderita penyakit-penyakit yang obat-obatannya hanya ada di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan atau rumah sakit.