Menurut data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia pada tahun 2017, sekitar 9,1% anak-anak di Indonesia di usia 10-14 tahun dilaporkan sebagai perokok aktif.
Selain itu, menurut Global Youth Tobacco Survey atau disingkat sebagai GYTS, pada tahun 2014 sekitar 18,8 persen anak-anak usia 13-15 tahun di Indonesia mengaku pernah mencoba rokok dan 9,1% dari mereka merupakan perokok aktif.
Angka perokok anak di Indonesia yang semakin meningkat setiap tahunnya tentu saja merupakan masalah kesehatan yang serius, karena merokok pada usia muda dapat meningkatkan risiko penyakit kronis di masa depan, seperti penyakit jantung, kanker, dan gangguan pernapasan.
Faktor sosial, faktor iklan atau promosi dari rokok/tembakau, ketersediaan dan akses (aksesibilitas) anak terhadap rokok, keadaan sosial dan ekonomi anak, serta pengetahuan anak mengenai kesehatan, merupakan beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap prevalensi perokok anak.
Pertama, lingkungan sosial di sekitar anak dapat memiliki peran signifikan yang mempengaruhi keputusan seorang anak untuk mencoba merokok. Jika anak tumbuh dalam keluarga di mana anggota keluarga merokok, atau jika teman-teman sebaya mereka merokok, mereka mungkin lebih cenderung mencoba merokok.
Kedua, paparan terhadap iklan rokok dapat mempengaruhi persepsi anak menjadi persepsi positif terhadap merokok yang kemudian mendorong anak-anak untuk mencoba rokok. Kampanye pemasaran yang ditargetkan pada anak-anak dan remaja, seperti melalui media sosial atau acara musik, dapat berkontribusi pada prevalensi perokok anak.
Ketiga, ketersediaan dan akses mudah terhadap rokok dapat mempengaruhi keputusan anak-anak untuk mencoba dan mulai merokok. Jika rokok tersedia secara bebas di toko-toko atau jika undang-undang yang mengatur penjualan rokok tidak ditegakkan dengan baik, anak-anak dapat dengan mudah memperoleh rokok.
Selanjutnya, anak-anak dari keluarga dengan tingkat pendapatan rendah atau yang tinggal di daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi mungkin lebih rentan terhadap merokok.
Faktor-faktor ekonomi, seperti harga rokok yang terjangkau atau kurangnya kesadaran akan dampak buruk merokok, dapat berperan dalam prevalensi perokok anak di kelompok-kelompok ini.
Jika anak-anak tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang risiko dan konsekuensi merokok, mereka mungkin kurang mampu membuat keputusan yang sadar tentang kesehatan mereka. Pendidikan kesehatan yang kurang atau tidak ada di sekolah atau dalam keluarga juga dapat berkontribusi pada prevalensi perokok anak.
Hari ini di klinik tempat saya bekerja, seorang bapak membawa anak berumur 15 tahun kepada saya. Beliau menyampaikan beliau membutuhkan pertolongan saya untuk memberi nasihat kepada anaknya untuk tidak merokok lagi setelah sang ayah sudah menyerah.