"Biaya Perawatan Orang Miskin Sedot Kantong BPJS Kesehatan 27T", "BPJS Kesehatan Siap Terapkan BPJS Orang Kaya", "Orang Miskin Lebih Banyak Pakai BPJS Kesehatan Dibanding Konglomerat".
Itu semua adalah beberapa judul dari sekian judul artikel yang dipublikasikan di media sosial dan media cetak akhir-akhir ini yang memaparkan data mengenai pengguna mayoritas dari dana yang sudah dikumpulkan (pooled) di BPJS Kesehatan.
Sekiranya memang tidak ada yang salah alias wajar jika terdapat sebuah data mengenai siapakah golongan yang melakukan utilisasi paling besar, karena saat melakukan pendataan.
Kita dapat mengidentifikasi siapa saja yang merupakan Penerima Bantuan Iuran atau PBI dan mana non-PBI. Sehingga, saat data diolah, tentu saja PBI dan non-PBI merupakan variabel data yang luarannya dapat dianalisa.
Namun tak bijak saja rasanya bila menggembor-gemborkan apakah mereka dari golongan kaya atau mereka dari golongan miskin sebagai penyumbang beban terbesar BPJS.
Kedua golongan sama-sama dapat terserang penyakit, sama-sama membutuhkan pengobatan atas penyakitnya, dan sama-sama membutuhkan BPJS sebagai jaminan kesehatannya. Alhasil, media sosial sempat menjadi wadah yang tak tentram bagi kedua pihak.
Entah mengapa pada akhirnya media mengeluarkan artikel sedemikian rupa. Alih-alih bersifat informatif, justru menjadi provokatif.
Bisa jadi awalnya media bermaksud memberikan informasi bahwa selama ini BPJS mengalami defisit dikarenakan banyaknya pengeluaran Kesehatan yang digelontorkan untuk masyarakat PBI, yang mana merupakan dana subsidi pemerintah untuk masyarakat tidak mampu.
Namun, pernyataan demikian dengan mudahnya dapat dilawan dengan pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa fakir, miskin, dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Menyalahkan kelompok miskin sebagai beban besar BPJS tentu saja merupakan hal yang tak tepat.