Anak laki-laki yang dirundung dan tidak boleh menangis
Beberapa hari yang lalu, saat saya sedang berjaga di ruang instalasi gawat darurat atau IGD di Puskesmas tempat saya bekerja, seorang ibu yang menggandeng seorang anak dengan tatapan kosong datang kepada saya. Sang ibu mengatakan bahwa anaknya yang berumur 8 tahun dan duduk di kelas 2 SD ini sudah tak makan dengan porsi yang cukup, kurang lebih seminggu terakhir. Sang ibu menuturkan anak hanya makan satu hingga dua sendok lalu kembali tidur atau melamun. Sang ibu meminta agar anak dapat diinfus.
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan informasi bahwa anak memiliki riwayat dirundung secara fisik oleh teman-teman sekelasnya.
"Lakian kada boleh menangis, nak ai." Ucap sang ibu dalam bahasa banjar atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sang ibu mengatakan bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis. Sambil berucap demikian sang ibu turut menangis.
Saya menghela nafas sambil tersenyum kepada sang ibu. Seperti biasa tentu saja hal-hal yang membuat saya menghela nafas akan menjadi bahan edukasi yang panjang untuk pasien dari saya. Saya menyadari tak seluruh individu memahami bahwa hal-hal seperti salah satunya anak laki-laki tidak boleh menangis adalah salah satu bentuk tindakan yang represif dan merupakan salah satu bentuk toxic masculinity.
"Bu, siapa sih yang kalau dirundung tidak sedih? Ibu saja sedih hehe, apalagi yang mengalami perundungan kan. Keduanya, baik anak laki-laki atau perempuan berhak untuk sedih kok bu jika itu memang adalah hal yang membuat sedih.
Kalau sedih, ya ekspresi yang wajar adalah menangis, kalau anaknya ketawa-ketawa justru tidak wajar kan bu." Saya menata kalimat saya sedemikian rupa sambil melempar senyum agar ibu tak tersinggung dan dapat menerima hingga menyerap apa yang saya sampaikan.
"Boleh kok sedih, tapi sedihnya jangan lama-lama ya, karena nanti kalau sedih, siapa hayo yang juga sedih?" Tanya saya kepada sang anak.
"Allah, Ibu, dan Bapak." Ucap sang anak. Saya dan sang ibu spontan bertatapan dan sambil melempar senyum campur haru, menyaksikan bahwa anak yang baru saja diuji dengan perundungan yang sebenarnya menyakitkan namun sering disepelekan banyak pihak.
Seolah-olah perundungan di antara anak sekolah hanyalah sekedar permainan antar anak laki-laki, yang tak sama sekali terbersit di pikiran banyak pihak bahwa hal ini tak menutup kemungkinan akan berdampak pada kesehatan mental seorang anak.