Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan "Potret Kesehatan dari Desa Tanpa Listrik dan Sinyal"
Kurang lebih satu minggu yang lalu, saya mengunjungi salah satu desa dengan akses geografis yang tak mudah di Kecamatan Teluk Kepayang, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan untuk melakukan MBS atau Mass Blood Survey.
Saya begitu antusias saat diajak oleh pemegang program Malaria di Puskesmas saya untuk mengikuti program ini, terlebih program ini dilakukan di satu dari dua desa yang begitu ingin saya kunjungi yakni Desa Tamunih, sebelum saya menyelesaikan masa program internship dokter Indonesia atau disebut juga dengan PIDI kurang lebih sekitar 1.5 bulan lagi.
Jalan menuju pemukiman warga di desa ini ditempuh dengan perjuangan. Melewati jalan tanpa pengerasan, jalan dengan tanah nan liat yang begitu licin dan bertambah licin pasca guyuran air hujan setengah jam yang lalu. Kemudian, jika sesekali terdapat jalan yang tak licin alias jalan berbatu, sering kali ia adalah jalan menanjak yang kemiringannya berkisar 70 derajat hingga ekstrim hampir menuju 90 derajat.
Walau demikian, sama sekali tak pernah saya menyesal untuk berkunjung ke desa ini, bahkan jika ada kesempatan lagi, saya begitu ingin mengunjungi tempat tersebut kembali. Saya ingat sekali saat salah satu siswa SD kelas 1 di SD Tamunih yang merupakan sekolah filial, menghampiri saya setelah saya mengajari mereka gerakan masyarakat hidup sehat, dengan mata berbinar-binar ia bertanya "Bulan depan ibu kesini lagi?". Sungguh tidak menyangka bahwa kehadiran kami disana ternyata sudah dirindukan bahkan sebelum kami meninggalkan tempat tersebut.
Bahagia tak terkira rasanya mendengar kalimat sederhana yang dilontarkan oleh anak-anak SD di SD yang baru saja dioperasikan satu bulan yang lalu. Dengan kata lain, sudah sekian tahun lamanya semenjak banyak masyarakat bermukim di desa tersebut, tak ada akses menuju pendidikan, dan berujung pada alih-alih anak menikmati masa mengenyam pendidikan dengan belajar dan bermain, anak-anak mau tidak mau ikut bekerja mencari kayu di hutan bersama kedua orang tua mereka. Begitu senang rasanya melihat ada secercah harapan di desa ini dengan didirikannya sekolah dasar. Semoga menjadi awal dari kemajuan peradaban untuk masyarakat di desa ini.
Saat itu kami tiba di desa tersebut sekitar waktu maghrib. Saya spontan bertanya bagaimana saya dapat berwudhu dan mandi setelah perjalanan berjam-jam yang menghasilkan seember keringat. Masyarakat menjawab "Kami biasa mandi, mencuci, BAB, BAK, minum dari air sungai". Dan tepat, sungai tersebut ada di depan rumah yang saya diami.
Kami berdiam di rumah dinas salah satu guru di SD Filial Tamunih dari kayu dengan desain panggung. Kebetulan di rumah ini disediakan toilet, namun air tetap bersumber dari air yang diambil dari sungai menggunakan ember atau jerigen. Saat itu, saya berpikir, bahwa paling tidak saya dapat BAK di tempat tertutup. Pagi harinya, setelah saya bangun tidur, saya melihat sudah banyak warga yang berkumpul di tepi sungai untuk mandi, BAK, BAB, dan lain sebagainya.
Dampak mandi cuci kakus hingga minum dari sungai
Masyarakat akan menjadi sangat rentan terhadap penyakit-penyakit yang bersifat infeksi atau penyakit-penyakit oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, dan lain sebagainya yang dipaparkan/masuk ke tubuh terlebih pada penyakit-penyakit yang digolongkan sebagai waterborne disease atau penyakit yang ditularkan melalui air meliputi penyakit kulit, penyakit pencernaan, penyakit pernafasan, dan lain sebagainya.