Lihat ke Halaman Asli

Ariana Maharani

TERVERIFIKASI

MD

Kesehatan Mental yang Multifaktorial

Diperbarui: 15 September 2022   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu saja orang-orang yang melabeli seseorang dengan masalah kesehatan mental karena baper adalah suatu kesalahan yang besar (Pexels/Cottonbro)

Tidak bijak rasanya jika orang-orang dengan masalah kesehatan mental dilabeli begitu saja sebagai kelompok manusia yang baperan, sebuah bahasa gaul yang merupakan sebuah singkatan dari bawa perasaan. 

"Gitu aja kok baper!"

Alih-alih dapat memperoleh kata-kata semangat nan positif dari lawan bicara, mereka justru semakin terpuruk. Padahal sering kali mereka yang curhat hanya minta untuk didengarkan bukan untuk dicari-cari penyebab di baliknya. Ditambah dengan bukti ilmiah yang menyatakan bahwa kesehatan mental tak hanya dipengaruhi oleh satu faktor/penyebab saja. 

Tentu saja orang-orang yang melabeli seseorang dengan masalah kesehatan mental karena baper adalah suatu kesalahan yang besar. Kesalahan pertama ialah ia tidak mengetahui bahwa kesehatan mental adalah suatu luaran kondisi yang multifaktorial.

Kedua adalah nihilnya unsur kehati-hatian alias penghakiman yang pada akhirnya tak menutup kemungkinan berujung pada kondisi mental seseorang menjadi lebih buruk.

Kondisi kesehatan mental adalah multifaktorial

Etiologi dari kesehatan mental adalah multifaktorial dan begitu kompleks. Secara garis besar, terdapat dua faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan mental seseorang. 

Pertama yakni faktor biologis, kedua ialah faktor psikologis. Contoh dari faktor biologis antara lain gangguan pada fungsi sel saraf di otak, infeksi, kelainan bawaan atau cedera pada otak, kerusakan otak akibat semisal kecelakaan, kekurangan oksigen pada bayi saat proses persalinan, penyalahgunaan NAPZA dalam jangka panjang, kekurangan nutrisi, dan genetik. 

Contoh dari faktor psikologis yakni adanya peristiwa traumatik, seperti kekerasan, kehilangan seseorang, atau perceraian, ataupun disia-siakan di masa kecil, kemudian kurang mampu bergaul dengan orang lain, perasaan rendah diri, tidak mampu, marah, atau kesepian. 

Ertem pada risetnya di tahun 2010, memperkenalkan sebuah model berbasis siklus hidup (life-cycle model approach) untuk memahami onset atau permulaan dari sebuah kondisi gangguan kesehatan jiwa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline