Beberapa waktu yang lalu saat saya berjaga di poli umum Puskesmas, datanglah seorang wanita paruh baya sambil memegang tengkuknya. Mengatakan bahwa ia merasa sakit di bagian tersebut sudah kurang lebih 2 hari hingga ia tak bisa tidur.
Selain itu, tadi malam ia mengaku sempat mengeluhkan sakit di bagian dada kiri namun tak berlangsung lama, kira-kira sekitar 2 menit.
Saya langsung mencurigai bisa jadi kadar kolesterol pada pasien ini tinggi, sehingga mengisi sekitar pembuluh darah dan membuat aliran darah di daerah tengkuk dan juga pembuluh darah pada jantung alias arteri koroner tak lancar dan akhirnya sempat menimbulkan nyeri dada.
Kemudian, saya membuatkan pasien sebuah surat permintaan pemeriksaan kolesterol ke laboratorium Puskesmas. Benar saja total kolesterol adalah 400 an ke atas. Saya lupa persisnya berapa. Yang jelas, akhirnya pasien ini saya diagnosis sebagai dislipidemia. Lalu, saya mulai menstratifikasi risiko dislipidemia pada pasien ini. Kemudian menuliskan obat tablet simvastatin pada kertas resep.
Setelah saya memberikan edukasi mengenai penyakit yang diderita ibu tersebut dan kapan ia harus kembali ke Puskesmas, sambil menyerahkan selembar kertas resep berisi obat untuk ia konsumsi, secara proaktif dan bahkan sebelum saya memberikan pertanyaan ultimatum sekaligus pertanyaan terakhir "Apakah ada yang ingin ibu tanyakan?", sang ibu melemparkan sebuah pertanyaan yang menurut saya begitu sulit.
"Dok, apakah dokter pernah belajar mengenai obat-obat herbal selama kuliah di kedokteran? Sejujurnya saya ingin sekali mengkonsumsi obat herbal. Entah kenapa masih sulit untuk saya berteman dengan obat-obat yang tidak herbal.."
Apakah ini terbatas sulit untuk saya? Atau apakah rekan-rekan sejawat dokter yang sekarang turut membaca tulisan saya pun ikut merasakan kesulitan saya di hari itu?
Pertanyaan dari beliau membuat saya akhirnya melakukan kilas balik saat saya berkuliah di tahun terakhir S1 kedokteran. Saya ingat bahwa dahulu program studi saya pernah menawarkan sebuah blok peminatan herbal bagi mahasiswa yang ingin mendalami herbal medicine selama satu blok alias satu setengah bulan.
Tak terpikirkan sama sekali di saat itu bahwa andai saja saya mengikuti blok tersebut, saya tentu tidak akan kesulitan menjawab pertanyaan ibu itu. Saat itu saya ingat bahwa saya lebih memilih blok peminatan infeksi menular seksual. Nampaknya waktu itu saya hanya ikut-ikutan. Mengikuti teman-teman dekat saya yang mayoritas memang memilih blok tersebut.
Setelah meratapi penyesalan mengapa saya tak mengikuti blok peminatan mengenai kedokteran herbal atau herbal medicine tersebut, saya lalu berpikir, andai blok tersebut adalah blok yang wajib di universitas saya (dan harapannya sih juga wajib di seluruh universitas di Indonesia) tentu paling tidak ada satu atau dua tanaman herbal yang saat itu pasti sempat terlintas di kepala saya.
Namun saya memahami mengapa herbal medicine tidak dijadikan blok wajib di fakultas kedokteran seluruh Indonesia. Mengingat, belum meratanya bukti ilmiah pada seluruh tanaman-tanaman herbal di Indonesia.