Di suatu pagi, lebih tepatnya pagi-pagi sekali di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas tempat saya bertugas, seorang anak berusia 5 tahun datang digendong oleh sang ibu ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan keluhan sesak. Sekilas dapat saya lihat bahwa sang anak terlihat begitu sesak dan lemas. Kemudian kami melakukan survei awal terkait saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi pasien lalu melanjutkan dengan bertanya terkait rincian keluhan salah satunya ialah sudah berapa hari anak mengeluh sesak, si ibu berkata sudah sekitar 2 hari dan puncaknya ialah kemarin malam saat anak tak bisa tertidur sama sekali karena sesak. Dikatakan sebelum sesak, anak mengidap batuk dan pilek.
Kemudian saya mengambil stetoskop, menempelkan ke dada anak yang nafasnya sudah tak karuan. Terdengar bunyi wheezing atau kerap kita sebut pula dengan mengi di seluruh lapang paru. Anak ini sangat mungkin mengidap asma. Dikatakan bahwa nenek dan tante dari anak ini pun memiliki keluhan yang serupa. Kami langsung bergegas menyiapkan alat nebulizer sebagai terapi awal pasien dengan mengi. Berharap dengan pemberian obat melalui nebulizer atau alat yang mengubah cairan menjadi uap, dapat melebarkan saluran nafasnya yang sementara kemungkinan menyempit karena berbagai macam faktor pencetus seperti debu, asap, bulu, dan lain sebagainya yang bisa jadi merupakan alergen untuk pasien.
Pertanyaan anda sekarang dan tentu saja pertanyaan saya waktu itu kepada ibu pasien adalah "Mengapa tidak dibawa langsung ke Puskesmas saat anak sesak 2 hari yang lalu, Bu? Mengapa baru dibawa sekarang?" Tanya kami diliputi rasa kesal yang tak tertahankan dan tak dapat ditutup-tutupi dari wajah kami para tenaga kesehatan yang berjaga di IGD pagi itu. Rasanya kami sudah siap menerkam ibu pasien hidup-hidup.
"Saya sudah sangat ingin membawa anak saya sejak 2 hari yang lalu, namun ayahnya alias suami saya bersikeras untuk tidak membawa anak ke Puskesmas. Ia tidak ingin anak dirawat inap."
"Oh.. sekarang ayahnya sudah memperbolehkan, bu?"
"Tidak, saya membawa anak saya diam-diam saat ayahnya sekarang sedang keluar rumah, karena hari ini ia masuk kerja, 2 hari yang lalu memang sedang libur. Kalau ada dia tentu dia akan marah kepada saya."
Saya terdiam. Saya sungguh tidak mengerti apa yang ada di pikiran seorang ayah saat melihat anaknya jatuh dalam kondisi yang sangat sesak dan bisa-bisanya dia bersikeras untuk tidak membawa anaknya ke Puskesmas. Di saat itu, saya menyadari bahwa hal ini adalah sesuatu yang kita sebut dengan budaya patriarki. Mengutip dari Alfian (2013), budaya patriarki adalah suatu nilai-nilai yang dianut dan diyakini oleh masyarakat tertentu yang menganggap bahwa posisi laki-laki lebih tinggi dari pada posisi perempuan.
Relasi kuasa yang dimiliki ayah sang anak tersebutkan melalui dialog ibu pasien "...kalau ada dia (re: ayah sang anak) tentu ia akan marah." menunjukan ketimpangan gender dalam pengambilan keputusan di keluarga ini dan ribuan keluarga-keluarga lainnya di Indonesia. Sang istri seolah-olah tak memiliki kuasa untuk sekedar membuka ruang diskusi. Istri dianggap harus menuruti kehendak suami alias ia dianggap inferior. Jika tidak menuruti maka ia adalah istri yang pembangkang dan ia berhak untuk memarahi sang istri yang baginya merupakan warga kelas dua (second sex).
Saat pengambilan keputusan dalam suatu keluarga dikuasai oleh seorang laki-laki (suami), tak jarang yang begitu menyedihkan ialah akibat-akibat yang ditimbulkan terkait pengambilan keputusan tersebut yang mana berdampak pada seorang perempuan (istri). Dalam kasus ini, saat suami yang bersikeras untuk tidak membawa anak ke Puskesmas dan kemudian anak jatuh dalam kondisi yang parah hingga dalam kondisi yang mengancam nyawa, sering kali perempuan lah yang akan mendapat kecaman atas ketidakmampuannya menjaga kesehatan anak-anaknya dan atas kelalaiannya untuk telah membiarkan anak jatuh sakit. Sang suami akan selamat dari kecaman lingkungan sekitar karena ia dianggap memiliki tugas di luar rumah yakni mencari nafkah dan tak ada sangkut pautnya dengan menjaga anak di dalam rumah.
Dengan demikian, budaya patriarki adalah salah satu ancaman terhadap kesehatan anak. Seorang anak sebagai kelompok yang rentan , yang mana tak memiliki kekuasaan untuk menentukan sendiri kehendaknya, mau tak mau harus mengikuti sebuah sistem dalam keluarga yang bersifat patriarki dan memiliki istilah warga kelas dua. Lewat tulisan ini, penulis berharap kita dapat bersama-sama membangun peradaban gender yang lebih baik lagi. Tak ada ketimpangan antara peran perempuan dan laki-laki, khususnya dalam konteks ini ialah pengambilan keputusan terkait kesehatan anak di dalam suatu keluarga. Mari menumbuhsuburkan pendidikan kesetaraan gender di sekitar kita demi proses pengambilan keputusan yang setara dan derajat kesehatan yang optimal untuk anak-anak kita para generasi penerus bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H