Pada tulisan ini, anda akan menemui dua sebutan yang saya buat, yakni jalur cepat dan jalur lambat. Jalur cepat mengacu kepada pasien-pasien yang memiliki kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) namun sewaktu-waktu sesuai keinginan ia dapat memilih untuk tidak menggunakan kartu JKN nya untuk menghindari proses rujukan yang sebagai suatu contoh menurutnya adalah proses yang lama dan beralih menjadi pasien umum. Sedangkan jalur lambat mengacu kepada pasien-pasien yang memiliki kartu JKN namun tidak memiliki kemampuan jika sewaktu-waktu ia berkeinginan memilih untuk tidak menggunakan kartu JKN nya alias beralih menjadi pasien umum karena kemampuan ekonominya yang terbatas dan tidak memungkinkan. Mari kita mulai.
Suatu hari, saya bertemu dengan pasien yang membawa anaknya ke poli Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Puskesmas kami dengan keluhan batuk pilek serta BAB cair selama 2 hari ini dan mengatakan bahwa telah membeli beberapa obat untuk batuk pilek dari apotik di dekat rumahnya di hari pertama keluhan muncul, namun menurut beliau dengan pemberian obat-obat tersebut tak menunjukkan adanya perbaikan. Setelah melakukan anamnesis dan berbagai pemeriksaan fisik kepada anaknya, kami memutuskan untuk memberikan terapi kepada pasien ini dari Puskesmas kami, mengingat diagnosis pada anak ini merupakan diagnosis dengan kompetensi 4A yang berarti dapat diselesaikan secara tuntas di fasilitas kesehatan tingkat primer. Setelah mendapat penjelasan terkait penyakit anaknya dan surat resep yang selanjutnya dapat diambil di apotik, dengan pelan sekali si ibu pasien berkata "Dok, saya mau anak saya dirujuk ke RSUD."
Kami semua tersenyum. Tentu pasien ini tidak dapat dirujuk begitu saja ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) atau merupakan fasilitas kesehatan tingkat sekunder saat penyakit yang diderita anaknya merupakan penyakit dengan level kompetensi 4A, sebuah kasus non-spesialistik yang harus tuntas di Puskesmas. Beda ceritanya jika walau kasus non-spesialistik namun terapi utamanya tak tersedia di Puskesmas kami, tentu akan kami rujuk. Namun, syukurnya Puskesmas kami masih memiliki obat-obatnya. Sehingga benar-benar tak ada alasan dong untuk merujuknya.
Setelah melakukan serangkaian penjelasan yang cukup panjang kepada ibu pasien, akhirnya ibu pasien memahami maksud kami untuk tidak melakukan rujukan. Namun tidak dengan suami beliau atau ayah dari pasien yang beberapa menit kemudian menyusul ke Puskesmas dan kembali bertanya apakah anaknya bisa diberi surat rujukan ke RSUD. Akhirnya, kami memulai kembali memberikan penjelasan alias penjelasan ronde dua. Setelah sudah mendapat penjelasan A sampai Z dari kami, akhirnya ayah pasien berkata "Begini saja sus dan dok, kami menjadi pasien umum saja, tidak apa-apa. Kami ke RSUD ya."
Inilah pasien yang saya sebut dengan pasien pengguna jalur cepat, atau apa lebih tepat disebut jalur pintas ya? Ia memiliki kartu JKN dan seharusnya mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku sebagai seorang peserta JKN setelah ia pun telah mendapatkan haknya yakni penjelasan mengenai penyakit dan mengapa tidak dilakukan rujukan. Beda cerita jika tak dirujuk dan tidak mendapat penjelasan. Kiranya dua ronde penjelasan sudah cukup menggambarkan betapa inginnya kami untuk pasien memahami bahwa tak merujuk bukan berarti enggan atau sebuah pengabaian atas penyakit yang diderita anaknya. Namun, karena kami memahami betul makna dibalik kasus penyakit mana yang berkompetensi 4A, 3B, 3A, dan seterusnya.
Cerita ini lalu menjadi gambaran kepada kita semua mengenai kenyataan pelaksanaan sistem JKN di negara kita. Tidak hanya di Puskesmas saya, namun saya pikir juga berlaku di Puskesmas-puskesmas seluruh Indonesia. Cerita seorang pasien yang bisa jadi salah satunya dikarenakan tak percaya akan kemampuan dokter-dokter di layanan primer atau keampuhan obat-obat yang tersedia di Puskesmas, yang bukan tak mungkin jika semua ini berasal dari pengalaman-pengalaman kelam pasien yang sudah ada. Sehingga saya pun turut berefleksi untuk terus meningkatkan kemampuan saya sebagai dokter baik dalam memberi terapi maupun mengedukasi sehingga tak ada lagi tatapan-tatapan skeptis dari pasien yang mendambakan dokter-dokter spesialis di fasilitas kesehatan tingkat sekunder untuk penyakit-penyakit 'sederhana'nya. Menyadari tingkat kekhawatiran setiap pasien berbeda-beda. Namun dengan edukasi yang sudah sangat paripurna, kira-kira mengapakah pasien tetap pada pemikiran awalnya?
Saya merenungi kembali, bisa jadi pasien-pasien dengan jalur cepat ini 'memiliki kemampuan atau lebih tepatnya privilese' berupa kemampuan ekonominya untuk sewaktu-waktu dapat memilih menjadi pasien umum saja. Saya pikir pun ya tidak apa-apa. Hal tersebut merupakan hak dari pasien atas kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Namun tahukah bahwa sebenarnya ada sebuah esensi yang ingin sekali saya tekankan kepada masyarakat terkait sistem rujukan di Indonesia?
Saya pikir dengan adanya JKN, kita memiliki sebuah frame alias bingkai atau kerangka yang jauh lebih jelas dibanding dahulu sebelum era JKN dimana dahulu kita bisa saja melakukan rujukan seenaknya yang kadang dipengaruhi oleh hal-hal di luar faktor medis seperti pasien yang begitu ingin dirujuk saja, tentunya tanpa indikasi rujukan yang jelas. Padahal dari sebuah sistem rujukan berjenjang berarti negara ingin membantu pasien untuk turut memahami mana kasus yang bisa dituntaskan di Puskesmas, mana yang seharusnya dirujuk ke tingkat sekunder jika sudah tak dapat dituntaskan atau bahkan tak bisa sama sekali didiagnosis di Puskesmas.
Fasilitas kesehatan tingkat sekunder yang mendapat rujukan dari berbagai fasilitas kesehatan tingkat pertama di wilayahnya tentu memiliki jumlah pasien harian yang kemungkinan besar memiliki antrian yang begitu panjangnya. Waktu menunggu tentu akan lebih lama dikombinasi dengan kemungkinan besar obat yang diresepkan akan kurang lebih sama, atau bahkan plek sama. Dokter spesialis nya pun bisa jadi kebingungan mengapa anda memilih ke dokter spesialis padahal bisa diterapi di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Ditambah jarak tempuh ke fasilitas kesehatan tingkat sekunder yang tak jarang begitu jauh dari desa. Namun ya memang tingkat kekhawatiran setiap pasien memanglah berbeda-beda. Dari situlah saya memahami bahwa edukasi ke pasien sebegitu pentingnya sampai saya sama sekali tak keberatan untuk melakukan edukasi yang beronde-ronde jumlahnya. Tapi lagi-lagi, itu adalah hak pasien yang memang memiliki kemampuan ekonomi untuk beralih menjadi pasien umum karena memang masih ada skema untuk pasien non-JKN di negara kita.
Cerita ini turut memberikan kita potret si kaya dan si miskin di negara kita. Si kaya dapat mempunyai banyak pilihan karena privilese ekonomi yang dimilikinya. Namun, pasien dengan 'jalur lambat' yang menaati alur rujukan saya pikir tak perlu sama sekali berkecil hati. Negara kita sedang mengusahakan skema JKN dengan terus meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang sama untuk semua orang tanpa kecuali. Jika dalam hal pelayanan kesehatan ada kiranya hal-hal yang tak sesuai dengan pikiran anda, semisal anda ingin anda dirujuk, tak usah malu-malu untuk meminta saja sekali lagi penjelasan dari dokter karena itu memang hak anda. Pasien dengan jalur lambat pun harusnya bersyukur karena anda telah diberikan dan difasilitasi sebuah kerangka kapan anda harus dirujuk dan kapan dirawat di fasilitas kesehatan tingkat primer saja. Pada akhirnya, pasien dengan 'jalur lambat' turut menyukseskan negara untuk memilah mana kasus non-spesialistik dan mana kasus spesialistik sehingga dapat membantu negara mengurangi kemubadziran dalam dunia ekonomi kesehatan di Indonesia.
Untuk menutup tulisan ini, akhirnya saya menyadari bahwa sebuah trust atau transaksi antara dokter dan pasien yang dilandasi dengan kepercayaan khususnya di era JKN ini merupakan isu yang begitu krusial. Tanpa sebuah trust kerangka sistem yang telah dibangun tidak akan ada artinya. Sembari pasien memberikan kepercayaannya kepada kita, kita sebagai dokter pun harus terus meningkatkan kompetensi baik keilmuan maupun keterampilan untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk pasien-pasien kita. Pemerintah sebagai pemegang regulasi dari sistem wajib terus memonitor dan mengevaluasi implementasi JKN secara paripurna.