Siang ini, saya mencoba melemparkan pertanyaan kepada teman-teman instagram saya melalui fitur pertanyaan di aplikasi tersebut. Saya menyampaikan bahwa akhirnya saya berada di sebuah titik dimana saya sedang berpikir keras terkait topik hingga judul apa yang dapat saya tulis sore ini di Kompasiana. Akhirnya, melalui kebaikan hati mereka, mereka memberikan saya banyak saran terkait topik yang dapat saya bahas. Salah satu teman kuliah saya dahulu di kedokteran memberikan saya saran untuk menulis mengenai pentingnya menulis bagi seorang dokter.
Saya memulai menulis beberapa tahun yang lalu tepatnya sejak akhir-akhir berkuliah di bangku S1 kedokteran, berlanjut hingga koas/dokter muda, hingga sekarang. Namun, dahulu saya tak langsung memilih Kompasiana sebagai tempat saya menuangkan opini saya, sehingga baru-baru ini saja saya memulai perjalanan bercerita dan beropini lewat tulisan disini.
Bagi saya, menulis adalah wadah untuk menuangkan berbagai pikiran dan ide yang berputar-putar di otak saya setiap kali ada suatu hal baru yang mencetuskan rasa penasaran saya di hari tersebut. Dari hasil penasaran itu, biasanya saya melanjutkan berjelajah di internet untuk melihat bagaimana situasi terkini tentang hal yang berputar-putar di kepala saya tersebut, terutama apakah selama ini sudah terdapat jalan keluar terkait situasi terkini tersebut. Kemudian, saya akan mencoba memberikan pandangan saya terkait solusi yang saya secara pribadi ajukan untuk masalah-masalah itu.
Saya beropini, bahwa menulis adalah hal yang sangat penting bagi seorang dokter. Sedari kuliah, sebagai dokter kita diajarkan untuk melihat suatu masalah pasien tak hanya dari aspek medis, namun juga hingga sosioekonomi, budaya, agama, politik, demografi masyarakat, dan lain sebagainya, alias menangani pasien secara holistik dan komprehensif. Masalah-masalah yang ada di pasien-pasien yang entah kita temui di fasilitas kesehatan tingkat primer ataupun sekunder yang telah saya tuliskan di atas begitu beragam. Tak sama dari satu individu ke individu lain. Setiap pasien membawa masalah dengan keunikannya tersendiri. Berbagai faktor berkontribusi terhadap status kesehatan seorang pasien yang sekali lagi tak hanya dari faktor medis namun yang sering kali lebih jauh kontribusinya daripada medis ialah faktor-faktor non-medis. Sehingga menurut saya, ini adalah suatu kesempatan yang diberikan kepada saya yang juga telah diberikan privilese sebagai dokter untuk menceritakan pengalaman-pengalaman bertemu berbagai macam kepala dan persoalan-persoalan yang dibawanya dan bagaimana pengaruhnya terhadap penyakit seseorang. Harapannya, tulisan ini juga mampu berperan sebagai pengingat untuk diri saya sendiri dan juga para sejawat sekalian untuk selalu menjadi dokter yang menangani masalah pasien secara menyeluruh tak hanya setengah-tengah, apa lagi seperempat, apa lagi seperdelapan.
Kiranya, sangat disayangkan jika berbagai pengalaman yang dianugerahkan karena privilese yang kita miliki sebagai seorang dokter tidak dibagikan. Terlebih lagi, jaman pun juga sudah berubah, kan? Tak perlu lagi mengirimkan surat lewat merpati atau mengumpulkan manusia-manusia dengan memukul kentongan bambu agar mereka berkumpul dan dapat mendengarkan apa yang ingin kita sampaikan. Era teknologi telah membuat segala sesuatu jauh jauh jauh lebih mudah. Penggunaan media sosial juga sudah marak dimana-mana bahkan hingga ke tingkat desa. Sehingga, bagi saya, hal tersebut merupakan hal kedua yang dapat menjadi alasan setelah alasan pertama terkait privilese seorang dokter yang telah diberikan kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang dan sekian persoalannya. Media sosial mampu memasifkan apa yang kita sampaikan sehingga cakupan lebih luas dan mampu berdampak secara kuantitas.
Dan bagi saya, menulis hanyalah salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk dalam rangka membagikan pengalaman kepada masyarakat. Ada banyak bentuk yang lain, seperti membuat fotografi dan kemudian bercerita lewat foto, membuat video yang dapat disesuaikan dengan platform yang kita kehendaki sebagai tempat untuk mengunggah misal Youtube atau TikTok ataupun Instagram Reels, membuat konten edukasi di feed instagram dengan desain yang ciamik, merekam suara kita saat beropini dan lalu diunggah ke podcast, menyelenggarakan webinar untuk membahas secara mendalam topik-topik tertentu baik melalui Zoom ataupun IG Live, dan masih banyak lagi. Bentuk diseminasi (penyebaran) pengalaman kita kepada masyarakat dapat disesuaikan dengan keahlian atau minat masing-masing. Jika memang gemar menulis, maka menulis tentu adalah pilihan. Jika tak senang menulis karena harus memikirkan segala ejaan yang disempurnakan namun senang berbicara dan menampakkan gestur tubuh, maka membuat video Youtube, TikTok dan lain sebagainya dapat menjadi jawaban.
Selain berbagi pengalaman, tentu seorang dokter juga dapat mengelaborasikan apa yang ingin ia sampaikan dengan keadaan Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Harapannya, tulisan-tulisan seorang dokter dapat digunakan sebagai edukasi kepada masyarakat terkait situasi sistem kesehatan terkini, masalah-masalahnya, hingga solusinya dan seberapa besarnya pengaruh suatu sistem terhadap kualitas sumber daya manusia dalam hal ini terkait status kesehatan seseorang. Dan tentu akan menjadi lebih luar biasa lagi, jika tulisan seorang dokter di suatu waktu dapat menjadi bahan untuk kelompok-kelompok tertentu mengadvokasikan permasalahan kesehatan kepada pemerintah dan berbagai pihak yang berwenang.
Penulis percaya, kekuatan media sosial sudah tidak bisa diragukan lagi. Sudah saatnya seorang dokter memahami alasan mengapa dokter harus memaksimalkan penyebarluasan pengalaman dan ilmunya seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Namun, tak dipungkiri tentu setiap tindakan atau kegiatan yang kita lakukan akan ada konsekuensi-konsekuensi yang harus kita sadari, tak lain tak bukan agar kita mampu menanggulangi kejadian-kejadian yang tak kita inginkan di masa depan. Penulis berharap, para sejawat dokter agar selalu menjunjung etika kedokteran baik secara langsung di kehidupan sehari-hari, dan khususnya dalam konteks hari ini dan di topik ini yakni bagaimana seorang dokter beretika di media sosial.
Oleh karena itu, terkait bagaimana seorang dokter beretika di media sosial, berikut akan saya bagikan Surat Fatwa Etika Seorang Dokter di Media Sosial, yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) bulan April 2021 yang lalu, SK MKEK Nomor 029/PB/K.MKEK/04/2021.
Terakhir, tulisan ini sesungguhnya tak hanya ditujukan hanya kepada dokter. Saya kira apapun profesi atau pekerjaan seseorang, berbagi ilmu adalah suatu hal yang tak akan pernah sia-sia. Ilmu tak mesti berupa hal yang hanya ada di buku-buku pelajaran. Ilmu dapat berasal salah satunya dari pengalaman masing-masing individu yang dapat diambil pelajarannya agar yang lain tak mengalami hal yang serupa atau paling tidak dapat menanggulanginya. Sharing is caring. Memaksimalkan penyebaran ilmu adalah tugas semua orang.
Sudahkah anda berbagi ilmu hari ini?