Beberapa minggu yang lalu, aku berkunjung ke salah satu institusi pemerintah pada level kabupaten di wilayah yang sekarang aku jadikan tempat berdomisili untuk mengurus beberapa hal yang kiranya tak usah kurincikan lagi, biarkan lah cerita ironi ini cukup diambil menjadi sebuah evaluasi, terkait apa yang salah dan perlu diperbaiki dari sebuah kebijakan, tanpa menyebutkan nama sebuah institusi.
Seorang pemuda berusia kira-kira 25 tahun, kuperkirakan umurnya sedemikian karena aku merasa nampaknya kami seumuran, berseragam aparatur sipil negara (ASN) duduk tepat di bawah plang tulisan Kawasan Tanpa Rokok. Ku lihat pemuda ini memakai kacamata dengan lensa entah berapa, namun sekali lagi aku mencoba menebak-nebaknya nampaknya sih tidak terlalu tebal-tebal amat, mungkin masih di bawah minus dua. Kuperhatikan bahwa pemuda ini tak terlihat sedang meminum alkohol atau terlihat sempoyongan karena mabuk. Ia hanya sedang menghisap sebatang rokok sambil bercengkerama bersantai menikmati jam istirahatnya. Ada hal yang tak ku habis pikir, pemuda ini merokok tepat di bawah tulisan kawasan tanpa rokok, sehingga membuatku bertanya-tanya apakah mungkin ia rabun? Tapi, jikapun ia berpenglihatan rabun, kan tadi sudah kulihat bahwa ia memiliki dan memakai kacamata? Dan andaikan ia sudah berkacamata, apa mungkin ia tidak berkesadaran penuh, siapa tau ia sedang mabuk sehingga tak membaca bahwa sedang berada di tulisan kawasan tanpa rokok? Jawabannya tentu tidak. Ia terlihat sadar penuh dan mengobrol dengan bahagia dan leluasanya.
Lalu, kira-kira apa lagi kemungkinan dibalik sebuah ironi seorang pemuda yang merokok yang tak mungkin tak dapat membaca tepat sekali berada di bawah tulisan yang ukurannya juga tak sampai membuat manusia rabun sampai harus memicingkan mata?
Peraturan Kawasan Tanpa Rokok atau kerap pula disebut dengan KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau.
Pemerintah melalui UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan telah mewajibkan pemerintah daerah untuk menetapkan KTR di wilayahnya masing-masing melalui Peraturan Daerah (Perda) atau peraturan perundang-undangan daerah lainnya. KTR ini meliputi: fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Penetapan KTR merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap resiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok. Penetapan KTR ini perlu diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lain yang ditetapkan, untuk melindungi masyarakat yang ada dari asap rokok.
Namun mengapa masih ada saja yang merokok di kawasan-kawasan untuk tidak merokok yang telah ditetapkan?
Pertama, belum adanya sebuah sistem yang jelas di masing-masing daerah untuk memastikan implementasi monitoring dan evaluasi terkait peraturan-peraturan daerah mengenai KTR. Selama ini sudah terdapat poin-poin apa saja yang harus dimonitor dan dievaluasi dari sebuah KTR. Namun pada akhirnya, poin-poin tersebut hanya menjadi tulisan tanpa pelaksanaan. Sistem yang jelas tersebut dapat terkait sumber daya manusia (SDM) yang dialokasikan untuk memastikan implementasi dari monitoring, bagaimana alur-alur sanksi jika ada yang melanggar konsep KTR, atau bahkan hingga bagaimana inovasi teknologi yang dapat membantu pengawasan kepatuhan masyarakat di KTR sehingga mempermudah pelaksanaan pemantauan.
Kedua, implementasi monitoring dan evaluasi yang tak berjalan lancar atau bahkan tak berjalan sama sekali tersebut membuat minimnya data terkait kepatuhan masyarakat di masing-masing KTR sehingga peraturan tak menunjukan adanya perkembangan atau arah hendak dibawa kemana dari tahun ke tahun.
Ketiga, yang tentu paling berkontribusi ialah kurangnya pemahaman masyarakat terkait apa makna dibalik ditentukannya sebuah wilayah sebagai KTR. Beberapa memandang negara hanya ingin membatasi ruang-ruang warganya untuk merokok di negara sendiri. Padahal, yang lebih jauh dan dalam maknanya dari itu ialah negara ingin memberikan seluruh warga negara sebaik-baik manfaat dari gerakan tidak merokok. Pro kontra di masyarakat terkait risiko versus manfaat selalu menjadi perdebatan klasik yang hingga hari ini tak nampak terlihat hilal penyelesaiannya. Beberapa juga berpendapat bahwa perokok merasa hak-hak perokok terpinggirkan. Perokok merasa ruang-ruangnya untuk merokok telah dibatasi namun tak diiringi dengan pembuatan area-area yang benar-benar dikhususkan untuk perokok.
Namun apakah perokok sadar bahwa ia juga membatasi hak non-perokok untuk menghirup udara segar?