Lihat ke Halaman Asli

Ariana Maharani

TERVERIFIKASI

MD

Agar Jaminan Kesehatan Nasional Tak Defisit, Tak Boleh Ada Mahasiswa Kedokteran yang Bodoh, Mengapa?

Diperbarui: 11 Juni 2022   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ada begitu banyak perubahan yang telah kita alami sejak sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai dibentuk dan dikembangkan 8 tahun silam yakni sejak tahun 2014. 

Salah satunya ialah health-seeking behaviour atau perilaku mencari pelayanan kesehatan yang membuat utilisasi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meningkat secara signifikan. 

Jelas, penyebabnya adalah masyarakat tak perlu lagi mengkhawatirkan biaya di saat bersamaan juga mengkhawatirkan penyakitnya. Namun, tak jarang ku baca di berita bahwa JKN mengalami defisit/kerugian, ibarat toko roti seharusnya toko roti ini harus ditutup, tetapi JKN tak seperti toko roti karena JKN berjanji untuk menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, namun jika sudah begini siapa saja yang bertanggung jawab jika JKN defisit? Pikirku, salah satunya adalah kita para dokter dan mahasiswa kedokteran yang sedang mempersiapkan diri menjadi dokter. Mengapa?

Dana JKN dikumpulkan melalui sistem bernama pooling. Dalam konteks pembiayaan ada dua pool besar yakni Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pool adalah tempat dimana dana dikumpulkan dan selanjutkan akan dibagi, dibelanjakan, dan dipergunakan ke berbagai tempat atau yang kerap kita kenal dengan istilah klaim JKN. 

Lalu apa kaitannya sehingga mahasiswa kedokteran tak boleh bodoh? Mengapa mahasiswa kedokteran harus giat belajar? Mengapa? 

Dokter adalah satu orang yang memegang peranan besar dalam sistem pembelanjaan. Dokter adalah orang yang akan menentukan pemeriksaan penunjang, dimana semakin banyak pemeriksaannya semakin mahal belanja yang dibelanjakan. Namun jika pemeriksaan yang banyak diiringi indikasi tentu sah-sah saja.

Lalu, setelah dokter telah mendiagnosis kerja, dokter akan menentukan terapi seperti obat apa yang ingin diberikan. Jika diagnosis tak tepat, tentu dokter harus mengubah terapi dan obat sebelumnya menjadi suatu kemubadziran, atau jika diagnosis tak tepat lalu pasien tak terselamatkan tentu saja negara harus kehilangan 'keuntungan' dari produktivitas warga negaranya. 

Dokter yang pintar akan memahami bahwa untuk mendapatkan sebuah diagnosis secara tepat, ia akan memulai dengan anamnesis namun tak sekedar anamnesis, namun ialah anamnesis yang menjurus. Karena percuma saja jika seorang dokter telah melakukan anamnesis panjang kali lebar namun ia tak mendapat gambaran penyakit apa-apa saja yang mungkin atau kerap disebut diagnosis banding sebelum dokter melanjutkan ke pemeriksaan fisik. 

Saat anamnesis seorang dokter telah menjurus tentu ia akan melakukan penekanan pemeriksaan fisik (pemeriksaan fisik yang dianggap seorang dokter krusial dan utama untuk benar-benar dipastikan positif atau negatif) alih-alih memeriksa dari kepala sampai kaki namun tak mendapat kesimpulan apa-apa. 

Seorang dokter yang pintar akan melakukan pemeriksaan dari kepala sampai kaki untuk melakukan skrining kemungkinan penyakit yang mungkin tak diceritakan dengan baik oleh pasien melalui anamnesis dan mengetahui mana pemeriksaan krusial yang benar-benar harus dilakukan agar si pemeriksaan fisik mampu memperkuat dan membela si anamnesis. 

Setelah telah mendapatkan anamnesis yang menjurus dan pemeriksaan fisik yang krusial, inilah yang akan menjadi penentu seorang dokter adalah pembelanja yang boros atau pembelanja yang hemat

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline