Bagi sebagian besar masyarakat, Program Keluarga Harapan (PKH) mungkin tidak asing lagi. PKH adalah program pemerintah yang ditangani Kementerian Sosial berupa pemberian bantuan sosial bersyarat kepada keluarga pra sejahtera yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan telah ditetapkan sebagai Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan.
PKH pertama kali diluncurkan pada tahun 2007, dan saat ini sudah mencapai sepuluh juta Keluarga Penerima Manfaat se-Indonesia dengan jumlah anggaran berkisar 110 Triliun Rupiah. Program ini mengadopsi konsep perlindungan sosial yang di dunia internasional dikenal dengan istilah conditional cash transfer (CCT) atau pemberian bantuan tunai bersyarat. Makna kata ''bersyarat" berbeda dengan "persyaratan'. Jika kata "persyaratan" merujuk pada kelengkapan administrasi dan teknis yang harus terpenuhi sebelum sesuatu diberikan, sedangkan kata "bersyarat" merujuk pada hal-hal yang harus dipenuhi atau dilakukan setelah atau ketika sesuatu diberikan. Untuk persyaratan, diantaranya harus memiliki minimal satu dari komponen-komponen PKH, yaitu komponen pendidikan (anak sekolah mulai SD hingga SMA), komponen kesehatan (ibu hamil dan balita), dan komponen kesejahteraan sosial (lanjut usia dan disabilitas berat).
Lalu mengapa PKH disebut bersyarat?, sebab disamping hak berupa bantuan uang tunai yang diterima secara rutin, KPM memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Berbeda halnya dengan bantuan-bantuan sosial lainnya yang cenderung tidak memberi kewajiban apa-apa setelah bantuan diberikan. Apa saja kewajiban yang harus dilakukan KPM PKH?. Ada tiga kewajiban pokok; Pertama, anak usia sekolah dalam keluarga tersebut harus sekolah dan hadir minimal delapan puluh lima persen di sekolah. Kedua, anak usia dini, ibu hamil, disabilitas, dan lansia dalam KPM harus rutin memeriksakan kesehatan secara berkala ke fasilitas kesehatan yang telah ditentukan. Ketiga, kepala rumah tangga harus rutin mengikuti Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) setiap bulannya yang diampu oleh pendamping sosial PKH.
Komitmen KPM terhadap kewajiban-kewajiban itu di verifikasi secara rutin oleh pendamping sosial PKH, bagi yang tidak komitmen akan ditangguhkan atau dihentikan bantuannya. Hal itu bertujuan untuk memastikan anak-anak KPM mendapat pendidikan yang layak, meningkatkan kualitas kesehatan KPM, dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai pentingnya pendidikan, kesehatan, dan pengelolaan keuangan dalam keluarga. Dengan itu semua diharapkan KPM bisa lepas dari kemiskinan, atau setidaknya anak-anaknya nanti tidak mewarisi kemiskinan orang tuanya karena telah mendapat bekal pendidikan yang cukup dan tubuh yang sehat.
Tiga belas tahun berjalan, PKH dianggap mampu memberikan sumbangsih signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2018, turunnya angka kemiskinan menjadi satu digit ketika itu tidak terlepas dari peran besar PKH. Selain itu berdasarkan survei Microsave Consulting pada tahun 2019 juga menunjukkan PKH memberikan dampak positif bagi prestasi anak penerima bantuan, serta mendorong kehadiran KPM di sarana pelayanan kesehatan.Namun, dibalik keberhasilan-keberhasilan itu, bukan berarti PKH tidak menyisakan persoalan. Ketidaktepatan penerima dan kecemburuan sosial adalah bagian dari persoalan itu. Pertanyaan yang sering mengemuka di tengah-tengah masyarakat adalah mengapa keluarga A masuk sebagai KPM PKH, sedangkan keluarga B yang lebih susah kehidupannya tidak masuk. Tidak jarang pendamping sosial PKH menjadi sasaran tudingan "bermain" dalam hal ini, inilah poin penting yang hendak penulis jelaskan melalui tulisan ini,
DTKS
Pendamping PKH adalah user atau pengguna data, bukan petugas pendataan. Lalu data itu bersumber dari mana?, data itu bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola oleh Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial Republik Indonesia. DTKS itu apa?, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa DTKS itu adalah data 40% rumah tangga di Indonesia yang mempunyai status kesejahteraan sosial terendah. Dari 40% itu dibagi lagi kedalam kelompok-kelompok yang disebut dengan desil, terdiri dari desil 1 hingga 4+. Desil 1 adalah 10% terbawah tingkat kesejahteraanya, yang disebut juga dengan kategori sangat miskin. Desil 2 adalah 10% diatasnya yang disebut dengan kategori miskin. Begitu seterusnya, desil 3 dan 4, masing-masing hampir miskin dan rentan miskin. Nah, penerima PKH diprioritaskan dari mereka yang berada di desil 1.
Sebagai parameter tingkat kesejahteraan sosial, DTKS tidak saja digunakan untuk Program Keluarga Harapan dan tidak juga digunakan oleh internal Kementerian sosial saja. Bisa dikatakan semua program bantuan dan subsidi di berbagai kementerian/lembaga sekarang menjadikan DTKS sebagai rujukan. Di Kementerian Sosial sendiri selain PKH sebutlah misalnya Program Bantuan Pangan Non Tunai, Bantuan Sosial Tunai, Program Rumah Tinggal Layak Huni, dan lain sebagainya. Pada Kementerian Kesehatan ada Program Kartu Indonesia Sehat, di Kementerian Pendidikan ada Program Kartu Indonesia Pintar, di Perusahan Listrik Negara ada Program subsidi listrik, dan begitu juga program-program bantuan/subsidi lainnya di berbagai kementerian/lembaga menetapkan penerima dari DTKS.
Pertanyaan berikutnya, sumber DTKS itu darimana? DTKS bersumber dari hasil Musyawarah Desa/Kelurahan tentang pemutakhiran DTKS (yang semestinya dilaksanakan minimal setiap enam bulan sekali, artinya dua kali dalam setahun), kemudian hasil musyawah itu diverifikasi dan divalidasi oleh pemerintah kabupaten/kota setempat, lalu yang memenuhi kriteria dimasukkan kedalam usulan DTKS dan diteruskan ke Kementerian Sosial untuk ditetapkan sebagai DTKS.
Dari alur DTKS tersebut terlihat bahwa DTKS itu berasal dari unit pemerintahan terbawah, pemerintah desa/kelurahan dengan perangkatnya hingga tingkat Rukun Tetangga (RT). Semestinya dengan data yang bersumber dari unit pemerintahan terbawah itu DTKS akan valid, lalu mengapa masih banyak yang bermasalah?, mereka yang sudah sejahtera kehidupannya masih ada dalam DTKS dan mendapatkan bantuan sosial/subsidi. Sebaliknya yang pra sejahtera ada yang tidak masuk dalam DTKS, sehingga tidak mendapatkan bantuan sosial/subsidi apapun.
Setidaknya terdapat dua jawaban terhadap pertanyaan diatas. Pertama, DTKS tidak dimutakhirkan secara rutin. Tidak dimutakhirkan oleh siapa?, ada dua kemungkinan, yang pertama, tidak dimutakhirkan oleh pemerintah desa/kelurahan. Kemungkinan berikutnya tidak dimutakhirkan oleh pemerintah kabupaten/kota, artinya hasil Musdes/Muskel DTKS tidak ditindaklanjuti dengan verifikasi dan validasi atau tidak diteruskan ke Kementerian Sosial. Dalam sebuah diskusi tahun lalu, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan menyebut bahwa banyak pemerintah daerah yang lalai memperbaharui DTKS di daerahnya. Sebelum pemutakhiran DTKS dadakan tahun lalu akibat gonjang-ganjing penerima Bansos Covid-19, pemutakhiran DTKS hanya dilakukan oleh 286 pemerintah daerah dari total 514 kabupaten/kota se-Indonesia. Selebihnya tidak memperbaharui apapun, tetap mendasarkan pada hasil Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) Tahun 2015. Padahal tingkat kesejahteraan sosial itu bersifat dinamis, ada mereka yang dulu belum sejahtera sekarang sudah sejahtera, begitu pula sebaliknya.