Lihat ke Halaman Asli

Dibalik falsafah "Tong Kosong"

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12953307081876936570

[caption id="attachment_85490" align="alignleft" width="300" caption="foto upload google -katalog produk tong sampah"][/caption] Dulu guru mengajarkan dalam pepatah "Tong Kosong nyaring bunyinya". Falsafah yang terkandung waktu itu selalu diidentikkan dengan orang yang sombong banyak omong tetapi gak ada isinya. Sesuatu yang negatif ditempelkan terhadap stigma "Tong Kosong". Supaya dinilai baik harus bersifat seperti tong yang berisi. Tong yang penuh isinya. Segala sesuatu tidaklah harus dipandang secara linier. Banyak sudut pandang yang bisa menjadi pencerahan. Ada seorang senior melemparkan pandangan falsafah " Hendaklah selalu mengosongkan tong kita yang penuh" . Kita harus bersikap  seperti "Tong Kosong". Saya tidak tau dari mana dia kutip pendapat itu. Setelah saya renungkan benar juga falsafah "Tong Kosong ". Tong Kosong , suatu sikap siap menampung apa saja yang diisikan. Tidak pernah menolak karena sudah penuh. Sama sikap kita yang mau menerima semua pendapat dari siapapun dan apapun juga pendapatnya. Demikian juga seperti Kompasiana selalu siap menerima pendapat dan pemikiran siapapun untuk  dipublish . Tong Penuh sudah sangat sulit menerima masukan Kecuali yang dimasukkan itu sangat berbobot yang bisa mendesak apa yang sudah ada.  Hal ini diibaratkan orang yang berilmu, merasa sangat pintar, sangat unggul. Sangat sulit menerima, bahkan mengacuhkan  masukan apapun bentuknya dan dari siapapun kecuali dari orang yang sangat sepesial. Kondisi" Tong Penuh " jika ditamsilkan dapatlah  seperti kondisi SBY Presiden yang terhormat. Beliau sangat pintar . Pintar ilmu perang. Pintar Ilmu kenegaraan;pernah jadi menteri, menko dan ka sospol  abri. Pintar ilmu dunia, doktor dari universitas bergengsi . Hebat pencitraaan; penampilan elegan, penyanyi dan pengarang lagu. Hanya  satu yang tidak terdengar yaitu sebagai "Ulama". Dengan Kondisi seperti itu tampaknya  sangat sulit menerima apa yang ingin disampaikan semua pihak . Termasuk apa yang disampaikan terahir oleh pemuka-pemuka tokoh agama. Bagaimana perkembangannya apakah SBY bersedia mengosongkan ruang tongnya yang sarat ilmu? Bagaimana menurut Kompasianer yang beragam sudut pandang dan kemampuan olah pikirnya. Jika tidak keberatan silahkan memberikan tanggapan. Januari 2011 Aria 8




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline