Malam beranjak begitu cepat, derita cendela tertiup angin malam ini. Gugusan gemintang kian mesra dengan cahaya malam. Meninggalkan bercak-bercak bintik di warna hitam maha langit
Suara burung bence terdengan parau dan kering. Kesumbangan yang dibunyikan sebagai bertanda banyak wajah-wajah yang akan mangkat karena lidahnya
Hampa dan kosong. Di sudut-sudut hati, perut dan sahwat siapa yang tau? Bahwa di situ tertimbun banyak
Aku menulis malam ini, karena aku ingin berbicara pada malam.
Katakanlah, adakah hal yang lebih hampa dari kemunafikan dan tipu daya? Entahlah nasib siapa yang tau.
Langkah-langkah primata mengusik telinga awasku. Desah dedaunan mempusingkan hasradku. Aku harus bagaimana?
Satu hal yang aku dapati. Bahwa 'cinta yang membawaku pulang'.
Malam semakin sepi, meninggalkan jerita kucing kampung bermesra ria. Atau mungkin detak jam dinding rumahku yang nampak malas mengitung waktu. Beranjak dari dudukku, lembar demi lembar terus ku bacs dalam hening dan kemunafikan diriku sendiri.
Dan satu hal yang bisa ku petik, tidak semua hal yang aku inginkan akan terpenuhi. Dianggap asing aneh dan mungkin gila adalah ciri khas yang biasa aku jumpai di segala gerak sendi kehidupanku. Mungkin ini sakit! Tapi tak berdarah. Aku hanya angin, aku bukan apa-apa dan bukan siapa siapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H