Sering kita dengar gelar haji disematkan bagi orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji ke mekkah. Rasa bangga, rasa derajat lebih tinggi dari orang lain di sekitar, rasa dekat dengan surga, dan perasaan lain yang membuat kita bangga dan lebih tinggi, silakan bayangkan sendiri. Bukankah ketika kita menunaikan ibadah haji, yang terlintas di pikiran saat itu adalah kecintaan pada sang pencipta dan kerinduan pada nabi Muhammad SAW. Tapi kenapa ketika sudah kembali ke dunia kita berada justru esensi tadi tidak lama kemudian hilang begitu saja, tergantikan lagi oleh pola pikir manusia yang selalu ingin berada di atas manusia lainnya.
jadi sebenarnya perlukah gelar haji itu disematkan?
Kita ambil contoh si budi yang taat pada ajaran agama dan rajin beribadah. Setiap waktu dia selalu ingat tuhannya.
Jadi ketika suatu kali si budi baru saja menunaikan ibadah sholat magrib, jadi saya dipanggil maghrib budi.
Lalu ketika si budi baru saja menunaikan puasa ramadhan, jadi di panggi puasa budi.
Sama saja ketika si budi baru saja menunaikan haji, jadi di panggil haji budi.
Lalu di mana esensinya? Jika kita beribadah lalu disebut-sebutkan dan berumbar maka hanyalah sombong yang tertinggal. Gelar disematkan untuk “mengingatkan” sang pemilik gelar hanyalah omong kosong belaka yang bisa membuat lupa daratan bahkan yang lebih buruk menjadi “riya”. Bisa dihitung dengan jari berapa orang yang dengan kerendahan hati menolak sanjungan tersebut.
Bagaimana dengan makna haji itu sendiri? sudahkan para “pak haji” dan “bu haji” memaknai arti “haji”? silakan Tanya sendiri pada setan-setan dipinggir kamu.
Pemberian gelar kepada seseorang yang telah menunaikan ibadah pernahkah disebutkan di al-qur-an? Atau pernahkan pula disebutkan dalam hadist?
Kalau tidak pernah disebutkan, lalu siapa yang membuat peraturan seperti itu?
ah.. lagi-lagi manusia sebagai pelakunya, semua berasal dari peraturan seenak jidat yang dibuat manusia.
lama kelamaan kemudian jadilah kebiasaan. Turun temurun kebiasaan jadilah kebudayaan, kebudayaan lama kelamaan jadilah lagi suatu keharusan ibarat dalil baru yang disahkan oleh zaman dan masyarakat.
Memang inilah moral manusia yang haus gelar, kekuasaan, dan jabatan. Ibadah pun bisa dijadikan patokan menentukan derajat seseorang di masyarakat. Moral para manusia yang terbelakang esensinya. Bahkan manusia-manusia ini bisa jadi tidak mengerti apa makna haji sesungguhnya? Dan Apa makna ibadah sesungguhnya?
Manusia bukan dilihat dari sebanyak apa gelar yang disematkan, bukan pula dinilai dari sebanyak apa ibadah yang sudah diumbar diperhatikan oleh orang lain. Manusia harus mencari tahu sendiri esensi dari untuk apa ibadah itu dilakukan? Dan yang terpenting manusia harus tahu siapa tuhannya. Apakah tuhannya berwujud uang, atau tidak berwujud seperti gelar, atau tidak berwujud seperti tuhan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H