Lihat ke Halaman Asli

ARI ISWAHYUDI

INFULANCER PSIKOLOGI, TEACHER OF SPECIAL NEED STUDENT, AND PARENTING

Mengenal Anak dengan Gangguan Sensory Processing Disorder (SPD) dan Cara Menanganinya

Diperbarui: 21 Oktober 2021   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi anak sedang bermain playdo untuk melatih sensori taktil. Sumber gambar :motherandbaby.co.id

Beberapa orang tua pasti akan khawatir dan bertanya-tanya ketika menjumpai prilaku anak yang tidak sesuai dengan semestinya. Seperti "mengapa anakku selalu menangis dan berteriak ketika mendengar suara vacum clener, mengapa anakku tidak suka ketika berjalan di pasir, mengapa anakku tidak merespon ketika dipanggil, dan sebagainya".

Ayah dan bunda perlu diketahui beberapa kasus seperti pertanyaan diatas mengerucut pada kasus-kasus permasalahan sensori pada diri anak. Perlu diketahui bahwa manusia mempunyai tujuh sistem sensori yaitu : Visual (penglihatan), Auditori (pendengaran), Gustatory (pengecap), Olfactory (penciuman), Taktil (perabah), Vestibular (berkaitan tentang menyeimbangkan tubuh), Proprioseptif (berkaitan tentang mendeteksi bagian gerak pada tubuh). Sehingga ketika salah satu atau lebih dari sistem sensori ini mengalami gangguan berarti anak bisa mengalami Sensory Processing Disorder (SPD).

Sensory Processing Disorder (SPD) adalah suatu gangguan berupa kegagalan dalam merespon input sensori atau stimulus yang diterima oleh indra sehingga memunculkan prilaku yang tidak sesuai. Sensori Processing Disorder (SPD) memiliki beberapa macam sehingga prilaku yang ditampakkan oleh anak akan berbeda-beda. Adapun macam-macam dari gangguan Sensori Processing Disorder (SPD) yaitu :

  1. Sensory Modulation Disorder (SMD) adalah ketidak mampuan diri dalam meregulasikan input sensori yang diterima. Sensory modulation disorder (SMD) dibagi menjadi tiga yaitu : Sensory Over Responsivity (SOR), Sensory Under Responsivity (SUR) dan Sensory Seeking (SS).
    1. Sensory Over Responsivity (SOR) yaitu prilaku merespon stimulus secara berlebihan. Misalnya anak akan berprilaku menangis atau berteriak bahkan tantrum ketika ia mendapati suatu stimulus sensori tertentu. Beberapa kasus yang terjadi seperti anak kesulitan mentoleransi paparan tekstur, menghindari berjalan tanpa alas kaki, merespon berlebihan ketika bermain cat atau lem, menghindari aroma makanan tertentu, menghindari makanan dengan tekstur tertentu, mudah terganggu dengan suara tertentu seperti suara blender, vacum cleaner, hairdryer dll, terganggu dengan cahaya terang dan takut dengan ketinggian. Salah satu cara untuk menanggulangi gangguan ini adalah dengan memberikan input sensori secara bertahap pada anak mulai dari terkecil ke terbeser, mulai dari sedikit ke banyak. Guna melatih respon sensori anak secara bertahap dan anak bisa menerimanya dengan sedikit demi sedikit.
    2. Sensory Under Responsivity (SUR) yaitu ketidak pekaan diri terhadap stimulus sensori yang didapat. Ciri dari gangguan ini biasanya anak memiliki endurence yang rendah, membutuhkan input sensori yang intens agar dapat merespon, tidak menyadari ketika ada yang menyentuhnya, dan tidak merespon ketika dipanggil.
    3. Sensory Seeking (SS) yaitu prilaku yang muncul karena kecenderungan mencari input sensori untuk kebutuhan tubuhnya atau kenyamanan. Biasanya anak dengan gangguan ini cenderung memiliki kebutuhan gerak yang tinggi, sering menyentuh atau menggosok-gosokkan bagian tubuh ke benda sekitar, mudah terdistraksi, gerakan yang tidak terkordinasi dan sering memasukkan objek kedalam mulutnya.

  2. Sensory Discrimination Disorder yaitu kegagalan dalam menginterprestasikan atau membedakan sebuah informasi sensori yang diterima. Contohnya menginterprestasi informasi yang didengar seperti  "yang saya dengar itu buku atau paku ya", kesulitan ketika mencari perbedaan atau persamaan dua buah objek atau gambar, sulit mengira-ngira kekuatan yang harus ia keluarkan saat beraktiitas tertentu seperti melempar bola pada keranjang.

  3. Sensory Based Motor Disorder yaitu gangguan sensori pada bagian dasar gerak.  Sensory based motor disorder dibagi dua yaitu Postural Disorder dan Dyspraxia.
    1. Postural Disorder yaitu kesulitan mempertahankan postur tubuh yang sesuai ketika bergerak atau melakukan aktivitas tertentu. Karakteristik anak dengan postural disorder adalah anak mudah lelah ketika mempertahankan duduk tegak, anak sering menghindari aktivitas fisik, anak sering berposisi W-sitting saat duduk, memiliki keseimbangan yang buruk, sulit melakukan aktivitas yang melibatkan kordinasi kedua sisi tubuh, dan kurang efisien saat bergerak.
    2. Dyspraxia yaitu kesulitas melakukan suatu gerakan secara terorganisir. Karakterisrtik anak dengan gangguan dyspraxia yaitu kesulitan melakukan tugas-tugas motorik halus seperti mengunting, menulis dan mengambar, kesulitan melakukan tugas-tugas motorik kasar seperti melompat, lempar tangkap bola, menendang dll, seringkali menolak ketika disuruh untuk mengeksplorasi hal baru, kesulitan melakukan imitasi gerakan, seringkali sulit menemukan ide untuk bermain, dan kesulitan melakukan hal sesuai dengan urutan prosedur.

Apa yang perlu dilakukan oleh ayah dan bunda ketika menjumpai anaknya mengalami Sensori Processing Disorder (SPD) ?

  1. Segera mengkonsultasikan pada ahli untuk mengetahui permasalahan pada anak. Sehingga anak akan segera terdiaknosa dan mendapat penanganan atau treatmen yang tepat. dan orang tua tidak semata-mata melakukan diaknosa sendiri dalam menangani masalah pada anak.

  2. Kenali profil sensori anak dengan melakukan assesment bersama terapis. Orang tua mencatat dan mengamati gangguan sensori seperti apa yang anaknya alami, dan mengkonsultasikan kepada terapis guna menemukan assesmen yang tepat dan treatmen yang tepat.

  3. Paparkan berbagai input sensori. Ketika mendapati anak mengalami gangguan dalam pemrosesan sensori maka orang tua perlu untuk memberikan berbagai input sensori agar anak mengenal dan dapat meregulasi input sensori serta mengetahui bagain sensori mana yang mengalami gangguan.

  4. Memberikan terapi. Pemberian terapi ini tentunya harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada psikolog anak atau terapis yang berkaitan, agar pemberian terapis sesuai dengan kebutuhan dan gangguan yang dialami oleh anak.



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline