Menulislah bagaikan wartawan
Bicaralah bagaikan orator
Tidak banyak orang yang punya kemampuan merangkai kata, sama hebatnya antara lisan dan tulisan. Bung Tomo termasuk dari yang sedikit orang itu. Bung Tomo tentunya pandai merangkai kata melalui tulisan karena beliau banyak berkecimpung sebagai wartawan ketika masih muda.
Sebagai orator ulung, 10 Novemer 1945 adalah momentum paling dikenang. Fotonya ketika itu sedang berpidato di radio merupakan salah satu foto paling ikonik dan legendaris dalam sejarah Republik ini. Tak perlu diceritakan kembali bagaimana hebatnya pidato beliau dan dampaknya.
Simak saja petikan pidato legendarisnya itu :
"Selama banteng-banteng Indonesia, masih mempoenjai darah merah, jang dapat membikin setjarik kain poetih, merah dan putih. Maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!"
Boleh saja orang berdebat kalau Bung Tomo "hanya berpidato" tanpa ikut bertempur. Faktanya pidato yang berapi-api itu telah mampu membakar semangat raktyat Surabaya, bertempur dengan gagah berani menantang Pasukan Sekutu, pasukan yang baru dinobatkan sebagai pemenang Perang Dunia II. Kata-kata tidak hanya sebatas rangkaian kata. Ia bisa berdampak besar.
Keberanian dan kekritisan Bung Tomo tidak berhenti sampai di situ. Pasca kemerdekaan, beliau tak sungkan melontarkan kritik kepada Presiden Indonesia yang sedang berkuasa, baik di era Soekarno maupun era Soeharto. Baik secara lisan maupun tulisan.
Bung Tomo pernah bertengkar hebat dengan Presiden Soekarno di meja sarapan hingga saling membanting piring. Ketika itu Bung Tomo berusaha mengingatkan Soekarno mengenai "urusan wanita" yang tampaknya membuat Soekarno marah.