Lihat ke Halaman Asli

Kepala (Sirah)

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Samudera tidak lagi berombak. Api tidak lagi menggelora. Kini aku tersudut dibawah kaki langit.
Mataku terbelalak, memandang jalanan yg sesak. Lautan manusia tak berkebala berjejar di pintu utama. Tangan2 perkasa para algojo tua mengasah merah pedangnya. Satu persatu, manusia tanpa kepala itu memasuki ruangan tak berudara. Demi sehembus nafas penyambung nyawa.

Aku sendiri, diantara makhluk2 tak berkepala. Seperti berada di ambang pintu neraka. Merah-merah mendidir terbakar gejolak api yang menyala-nyala.

Aku tak kuasa, mendengar tangisannya. Mereka, para manusia tak berkepala mampu menangis. Dari mana mereka mengucap? Dari mana tangis itu keluar? Bukankah tangis itu dari hembusan udara? Tapi mengapa mereka terisak? Apakah merka takut? Tapi takut apa?bukankah dulu jagoan, mengapa sekarang merana?ataukah mereka bersandiwara? Tanda tanya besar berkecamuk dikepalaku. Rasanya kepalaku mau muntah. Otak-otak kecilku mau berlarian menjauh dari tempatnya.

"ehm, mungkin mereka bosan. Ratusan jam mereka terpaksa dan dipaksa berada di sini", kataku sembari mengapit kepala dengan kedua telapak tanganku.

Haruskah aku pergi demi sebutir ketenangan?hanya aku, seorang dari ribuan orang yang tak mampu menyapa. Melambaikan tangan dengan senyuman (sok) manis. Tak mampu lagi menghiburnya.

Lamat-lamat, aku sudah lupa wajahnya. Namun, ucapan2 tentang dunia masih terekam di kepala.
Seperti ini nasehatnya..
...
jangan kau hina aku dengan pujianmu, tapi pujilah aku dengan hinaanmu.
pujianmu hanyalah sesaat..manis diawal, cuma secuil secelup jari kelingkingku, tapii pahitnya terasa menenggelamkan tubuhku yg renta.

...
Sudah berapa kali kubilang, aku hanya ingin menikmati duniaku. Duniaku yang sunyi, tanpa alunan nada penuh ilusi. Itu saja., aku ingin telingaku tuli, tak mampu lagi mendengar lirih suaramu. Aku juga mau, kalau kedua mataku buta akan warna kulit & paras cantikmu.
Aku bosan. Aku muak tentang kebaikan-kebaikan busuk yg mencincang tiap helai kulitku. Biarlah.
Biarlah, aku tak bisa mendengar & melihatmu. Atau setidaknya jiwaku masih bersamamu.

...
Mungkin benar. Entah kapan atau suatu saat nanti aku akan seperti mereka. Para makhluk tak berkepala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline