Cerawat bersinar meninggalkan jejaknya di langit malam, memberikan pesan, sedang terjadi hal yang tak beres di istana. Aku bergerak cepat, menuju pagar rumah warga, tempat penitipan kuda. Berpijak pada sanggurdi, lalu segera memacu kuda, meninggalkan pasukan Arkikni --para pengawal pribadiku-- yang beristirahat di warung. Kami baru saja pulang dari kerajaan Ganggula, untuk membantu keadaan rakyat di sana yang kekurangan makanan.
Cahaya dari obor sepanjang rumah menerangi jalan, hingga tanpa kendala, aku sampai di depan gerbang istana.
Kulihat, darah tercecer mewarnai beberapa sudut tanah yang RENGKAH karena kemarau. 'Rupanya pemberontak tak berhasil mulus,' ucapku dalam hati.
"Ke mana perginya para pengawal Anda, Tuan?" Para penjaga gerbang yang masih hidup panik, melihat aku berjalan sendirian. Mereka tak membantu pertarungan di dalam, karena terlalu berbahaya, jika para pemberontak lainnya bisa menembus benteng dengan mudah..
"Tuan, jangan pergi ke dalam. Sungguh berbahaya di sana. Biarkan Paduka dan pengawal yang menumpas mereka," ucap yang lainnya.
"Tidak mengapa, Mang. Saya bisa menjaga diri." Kulangkahkan kaki masuk ke dalam istana.
Ayah sebenarnya bukanlah orang biasa, dengan *aji-aji yang dikuasainya, para pemberontak dapat dilumpuhkan. Meskipun beberapa orang kepercayaannya harus meninggal dengan mengenaskan.
"Maafkan Nanda, Ayah. Telat datang untuk membantu melawan pemberontakan." "Rupanya kau sudah sampai. Harus Ayah katakan, ada beberapa abdi yang berkhianat. Sebagian dari mereka telah menghabisi orang-orang kita yang berkerja di dapur, karena merekalah yang pertama tahu soal kudeta, tapi syukurlah, **Sang Hyang Widhi masih memberikan Ayah dan yang lainnya keselamatan."
Hatiku yang semula panas, menjadi adem karenanya. Melihat peluh yang menetes dari kening Ayah, serta mendengar para koki dan abdi dalem banyak yang terbunuh, membuatku berinisiatif masuk dapur, membawakan air untuk mereka.
Ayah dan para pengawal yang masih hidup, langsung meminum air yang kubawa. Tak berselang lama, terdengar jeritan-jeritan dari luar istana, bahkan mereka -- Ayah dan para pengawal-- terlihat pucat dan berjalan sempoyongan.
'Rencangan cadangan berhasil dilaksanakan,' ucapku dalam hati, lalu berpura-pura menangis di depan Ayah, sambil menunggu pasukan Arkikni dan rakyat Ganggula yang memilih mengabdi padaku.