Lampu kelap-kelip langsung menyerang mataku. Seandainya saja bukan karena urusan yang sangat penting, rasanya tak sudi melangkahkan kaki ke tempat seperti ini.
Kuperhatikan objek-objek di sekelilingku yang samar, wajah-wajah penuh masalah, tengah menikmati pengusir rasa jengah, obat stres yang sesungguhnya menjajah. Memang, sebagai penyidik aku sering kali keluar masuk tempat-tempat seperti ini, tapi tetap saja, perasaan muak terus menghampiri. Musik yang menulikan telinga, juga bau alkohol. Mengesalkan.
"Kau yakin wanita yang kusebut ciri-cirinya sering mampir ke tempat ini?"
"Tentu saja, dia bahkan pelanggan tetap, dan hampir setiap hari ke tempat itu. Menurutku pribadi, masalah seperti ini harusnya tak boleh terjadi. Semua salahmu, Bung!
"Aku tau, maka dari itu aku jauh-jauh ke tempat ini. Agar semuanya selesai dengan baik."
"Semoga sukses, kau berani bertanggung jawab. Keberanianmu patut kutiru."
"Kau bodoh jika meniruku. Aku pergi.
"Hahaha. Jika kau mengenal orang tuaku, sampaikan salam dari Hendri, anaknya."
Yah, percakapan itu yang membuat aku pergi ke tempat ini. Setelah aku menjelaskan semua ciri-ciri kepadanya, dia langsung menyarankanku datang ke sebuah pub malam terkenal di kota ini.
***
"Keisya, gue Arman. Apa Lo inget? Gue temen sekelas Lo waktu SMA," ucapku sedikit berteriak agar didengar wanita itu. Semoga saja dia tak melihat ekspresi konyol wajahku. Kupakai bahasa seperti ini agar wanita di depanku tak curiga.
"Hah? Siapa Lo? Gue gak pernah kenal siapa pun di muka bumi ini. Dari dulu Gue gak punya temen seorang pun, ngerti!"
"Oke, oke ... Gue ngaku. Gue cuman pengen akrab sama Lo, karena tiap hari, Gue liat, Lo selalu murung sendirian."
"Apa peduli Lo?"