Lihat ke Halaman Asli

Argya Dharma Maheswara

Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta

Republik Indonesia: Sekadar Seremonial

Diperbarui: 10 Desember 2021   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kita tidak bisa menghindari fakta bahwa Republik Indonesia adalah negara seremonial belaka yang didirikan atas persiapan dan kesiapan yang sangat minim bahkan landasannya saja bisa dikatakan ditulis atas asas "asal cepat, asal jadi". Semua akar kesalahan ini menjalar hingga bertahun-tahun republik ini berdiri, budaya seremonial terasa sangat kuat dalam setiap hari besar atau hari bersejarah dalam memori perjalanan bangsa ini hingga terbentuk suatu republik bernama Republik Indonesia. 

Sejatinya itu bukan kesalahan, niat awalnya tentu saja baik bahwa setiap seremoni merupakan bentuk refleksi dari kita agar tidak melupakan dan terus melanjutkan segala kebaikan yang diawali dengan suatu peristiwa. Namun hal ini juga menjadikan masyarakat kita sangat terbiasa untuk merasa cukup dan puas atas suatu seremonial belaka. Misal saat hari lahir Pancasila kita berbondong-bondong mengupload status "Saya Pancasila, saya Indonesia" tanpa kita mau belajar dan menggali lagi akar tentang "Pancasila itu apa?" Atau "Apa yang mendasari lahirnya pemikiran soal dasar negara?" dan semacamnya. 

Fakta lain soal seremonial belaka adalah kita sebagai suatu entitas heterogen yang memaksakan diri untuk menjadi negara kesatuan walau samar-samar rasanya seperti federalis., Ingat, hanya "samar-samar". Entitas heterogen inilah yang kadang dijadikan tema dalam setiap seremonial, contohnya seperti peringatan Hari Kemerdekaan di beberapa tahun belakangan, tema yang diangkat dalam upacara kenegaraan atau bahkan pidato kenegaraan sehari sebelumnya adalah keragaman suku bangsa, dimana dalam setiap peringatan itu Presiden dan para pejabat teras menggunakan pakaian adat yang terus berganti setiap tahunnya. 

Namun, ini seperti sebuah blunder  jika entitas keberagaman tersebut hanya diangkat sebagai sesuatu yang memeriahkan rangkaian seremonial belaka. Boleh jadi pakaian adat diangkat setiap tahunnya oleh pejabat teras di berbagai rangkaian seremoni, namun adakah kesadaran bahwa sejatinya bentuk republik ini mengkhianati sejarah panjang bangsa Indonesia karena dalam sejarah panjang Nusantara karena kata "Indonesia" sendiri bukan berasal dari kita. Tentu tidak ada yang memiliki kepekaan soal ini. 

Hal lainnya soal adat adalah kenapa republik ini tidak pernah malu menggunakan pakaian adat di setiap seremoni tetapi abai soal nasib masyarakat adat di berbagai pelosok tanah air ini yang mengkhawatirkan, bahkan terjadi perseteruan panjang antara orang-orang yang mengatasnamakan republik ini dengan para masyarakat adat, khususnya soal lahan adat yang dipaksa untuk diambil alih oleh negara. Bukankah itu semua sebuah ironi yang sangat miris?

 Sejatinya tidak usah heran, karena kia sendiri tidak pernah peka untuk menggali pertanyaan-pertanyaan seperti  "Siapa pemilik sah tanah air Nusantara sebelum dan sesudah adanya Republik Indonesia?", "Apa dasar dari peralihan kepemilikannya?", "Bagaimana sikap dari pemilik lahan-lahan adat atau para Raja di kerajaan lokal sebelum dan sesudah munculnya Republik Indonesia?". Maka dari  pertanyaan-pertanyaan tersebut seharusnya kita sadar untuk tidak terlalu mempersetankan atau mendewakan kebangsaan dan nasionalisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline