Menulis adalah tentang eksistensi.
Sebagai disklaimer awal, hampir semua catatan yang saya buat, bertujuan untuk lini masa pribadi. Jadi sewaktu-waktu bisa dibuka, seperti jurnal atau diary, namun berbentuk daring. Kualitas tulisan saya bisa dibilang biasa saja. Tapi, menulis masih jadi cara paling mudah namun konvensional untuk sampaikan sebuah gagasan dan wawasan. Bagi saya, zaman terus berubah, teknologi terus berkembang, idiologi berganti-ganti, tapi bahasa akan tetap diwariskan, akan tetap digunakan. Bahasa, yang kemudian bisa dituangkan dalam bentuk tulisan.
Saya sudah lama tidak menulis, terakhir bisa jadi tahun lalu, di akun platform ini itu. Semenjak bekerja, di gudang kecil pemasok tembakau untuk pabrik rokok Sampoerna, yang terpikir selalu gaji. Gaji gaji gaji, untuk ditimbun, untuk simpanan hari nanti. Kesempatan menulis ini, semata hanya untuk menjaga hobi. Untuk menjaga akal sehat saja.
**
Dulu berharap, perantauan saya ke Yogjakarta bisa berhasil. Tapi bumi kraton belum berpihak, sehingga Klaten jadi peraduan dan pengobat luka. Waktu 1 tahun cukup untuk simpulkan seperti apa kota ini, walaupun tidak semua. Klaten yang saya cerna selama ini adalah sebagai berikut :
- Klaten adalah hamparan dataran rendah dengan dataran tinggi sebagai batas geografisnya. Batas Utara adalah lereng Gunung Merapi. Batas Selatan adalah deretan perbukitan Gunungkidul. Dataran rendah buat kota ini sejuk, subur, namun sinar matahari tak terhalangi. Dengan mikroklimat seperti ini, Klaten cocok untuk bertani. Dataran rendah juga buat Klaten sebagai muara dan titik temu air dataran yang lebih tinggi. Di Klaten, hampir setiap kecamatan mempunyai sendang, embung, atau sumber air. Masyarakat sering menggunakannya sebagai pemandian, kolam ikan, atau tempat suci untuk acara ritual adat.
- Klaten hanya sebatas kota transit, penghubung Yogyakarta, Surakarta, dan Boyolali. Banyak kendaraan lewat namun jarang berhenti. Truk dan bus non pantura selalu lewat jalur poros yang membentang dari Barat ke Timur. Jalan ini memisahkan Klaten jadi dua bagian, Klaten Utara dan Klaten Selatan. Jika tidak ada jalan poros ini, Klaten hanya akan dihiasi sawah dan pedesaan.
- Industri. Ya, industri. Tanpa saya sangka, Klaten adalah daerah berjamur industri berskala pabrik, dengan investor lokal maupun mancanegara. Tak jauh-jauh, disamping gudang tembakau tempat bekerja pun ada pabrik sarung tangan, milik pengusaha asal korea. Klaten diplot sebagai kota industri, tentu dengan pertimbangan yang mudah ditebak, diantaranya : akses strategis menuju Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang (Pelabuhan Tanjung Emas) ; bukan merupakan kota wisata ; banyak tenaga kerja terampil lulusan sekolah kejuruan ; UMR murah (Rp. 1800.000 per tahun 2018) ; etos kerja penduduk lokal yang baik.
- Berbicara tentang etos bekerja, dengan stigma bahwa orang Jawa Tengah terbilang lebih malas dari orang Jawa Timur, Klaten bisa jadi pengecualian. Penduduk Klaten gemar sekali merantau, bisa Ke Jakarta, Kalimantan, Sumatra atau menjadi tenaga kerja di luar negara. Tak jarang yang sukses, namun cerita sakit hati juga kerap terdengar, dari penyeduh kopi di angkringan - angkringan siang bolong. Sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, Klaten akan dijejali banyak perantau yang pulang, dengan setumpuk rezeki, harapan, dan cerita.
- Orang Jawa memang tak terlalu lama betah di perantauan. Perantau Klaten kembali dengan ilmu dan uang, untuk kemudian berwirausaha di kampung halaman. Industri kecil banyak ditemui. Eksistensi industri kecil kian menjamur, apapun itu, dari barang hingga jasa. Semua desa yang pernah saya kunjungi, selalu punya sentra industri kecil, yang pekerjakan warganya untuk kemudian di jual ke kota-kota besar. Sebut saja : ikan, besi, keranjang, kaos, buah, arak, anyaman, tembikar, pecah belah, helm, mesin, listrik, sampah, kain perca, barang bekas dll). Di Klaten, perputaran ekonomi di pasar akan lebih cepat dibandingkan dengan di pertokoan poros kota.
- Klaten juga simpan budaya. Kata warganya, Klaten berasal dari kata lati yang berarti lidah. Lidah bisa lebih tajam dari belati, yang bisa pecah belah dan adu domba kekuasaan. Klaten jadi wilayah yang terima buah pahit dari perpecahan kekuasaan Keraton Yogyakarta dan Surakarta zaman kolonial dulu. Banyak yang mengatakan bahwa Klaten adalah pemisah antara Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Saya pribadi sering mengibaratkan Klaten zaman dahulu bagaikan batas 2 kota besar, di mana bandit dan orang terbuang berkumpul. Itu sebab masyarakat Klaten punya sifat yang cenderung kasar dibandingkan masyarakat Yogyakarta dan Surakarta sekarang. Tak lupa, di sini candi-candi tipikal hindu juga tersebar luas, bersanding dengan beberapa situs kuno manusia prasejarah. Situs manusia prasejarah kata orang ada di Daerah Bayat, titik tertinggi Kabupaten Klaten.
- Masyarakat Klaten gemar sekali bergotong-royong. Paling terlihat adalah bagaimana mereka merawat desa. Di sini hampir tidak ada desa yang tak terawat. Sungi terbilang bersih, jalan tertambal rapi, dan hijau-hijau ciptakan asri. Perkumpulan warga digelar rutin, hingga sesekali ada pertunjukan akbar seperti wayang. Pemuda desa sangat aktif, untuk kelola dana desa. Masyarakat Klaten tergolong abangan, tapi masjid -- masjid baru sudah mulai dibangun, dari sumbangan jutawan kaya yang insyaf atau dari aktifis dakwah kampus-kampus sekitar.
Kiranya seperti di atas, cerita tentang Klaten, alas tidur selama hampir 1 tahun merantau. Masih banyak tempat yang belum saya jelajah di sini, untuk berdagang atau mencoret daftar mimpi sekali lagi. Apa kata, si calon istri sedang berada jauh di Jember. Seharusnya dia duduk menatap layar laptop ini bersama, memakai kaos oblong dan hot-pant favoritnya, temani saya menulis, sembari menunggu Hari Raya Idul Fitri yang akan datang sebentar lagi.
Kami akan pulang...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H