Ada 3 hal, untuk definisikan daerah yang nyaman ditinggali ; akses transportasi antar kota, budaya penduduknya, dan ekologis-nya. Di kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, secara relatif punya itu semua. Akses kereta dengan Stasiun Wates nya, bisa hubungkan kabupaten kecil ini ke penjuru daerah di Jawa. Belum lagi Bandara Internasional dengan view pantai, yang sedang dalam proses penebasan tanah dan ground-breaking. Budaya nrimo, ayem, tentrem khas Jawa masih otentik. Ekologis-nya kering, jarang hujan, karena daerah pesisir, namun masih bisa tumbuh padi-palawija dengan subur. Terlebih kabupaten Kulon Progo bukan proyeksi daerah Industri, dan rencana dibangunnya Sekolah Vokasi Universitas Gajah Mada sudah jadi desas-desus umum.
“hidup di sini ayem mas, walaupun kota kecil tapi gak ada busung lapar.”
“biaya juga masih murah.”
“Bupatinya yo apik, sekolah negeri TK sampai SMP gratis mas, biaya bersalin juga.”
Tutur Ibu penjaga warung sekitar taman kota itu, bisa jadi representatif ungkapan syukurnya terhadap kabupaten ini. Bupati Kulon Progo memang seorang dokter, dan punya rumah sakit di Yogyakarta.
“Kalo wakilnya mencalonkan jadi bupati akan saya pilih mas.”
“Kalo ndak wakilnya ya, anaknya tidak apa apa saya pilih.”
“Jarang sekarang, orang memikirkan wong cilik,macam bupati sini.”
Memang demikian, ungkapan ibu penjaga warung itu, pertanda bahwa politik dinasti di Nusantara ini bukan mutlak kehendak pemimpinnya, tapi sudah mendarah daging dan jadi kehendak rakyatnya. Walaupun demokrasi sudah membumi, tapi efek-efek primordial masih kental, dan sulit hilang.
Tak sampai setengah hari di sana, namun jatuh cinta terhadap kota ini sudah ada. Dulu, Saya pikir Yogyakarta ya hanya Yogyakarta, namun ternyata terbagi lagi dalam 5 kota/kabupaten lain, berturut-turut adalah Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Kulon Progo.
Dalam perjalanan pulang menuju Kota Sleman, sore itu saya berangan, untuk habiskan sisa waktu hidup di sini. Tata Tertib Tentrem Raharjo Gemah Ripah Loh Jinawi. Amin.