Tinggal menghitung hari pertarungan para politisi ambisius di tingkat daerah seantero Indonesia dilaksanakan. Pemilihan kepala daerah tahun 2024 ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah negara ini berdiri. Seluruh provinsi, kecuali DIY, dan kabupaten/kota akan melakukan coblosan untuk menentukan politikus mana yang akan memimpin daerah mereka. Salah satu yang menarik untuk dibahas adalah visi misi para calon.
Meskipun terasa menggelikan, kita patut menelaah visi misi para calon kepala daerah. Janji-janji politik yang manis ditorehkan dalam berlembar-lembar visi misi, yang entah mereka sendiri membacanya atau tidak. Kebanyakan dari mereka berfokus pada peningkatan ekonomi daerahnya. Bermacam-macam program dikeluarkan untuk menarik atensi dari para pemilih di bilik suara nanti. Biasanya mereka memfokuskan pada bidang infrastruktur, ekonomi, pendidikan, serta kesehatan. Sektor-sektor tersebut menjadi amat indah untuk diperdagangkan sebagai bahan kampanye. Namun, ada sektor yang seringkali luput dalam visi misi calon kepala daerah. Sektor tersebut adalah budaya maupun kebudayaan.
Dalam janji politik kampanye, budaya maupun kebudayaan menjadi sektor yang luput untuk benar-benar diperhatikan. Kalaupun ada dalam visi misi, posisinya bukan sebagai aspek utama dan mungkin saja sebagai bentuk formalitas dan penggembira. Kebudayaan tidak menjadi isu strategis untuk dikerjakan. Padahal budaya maupun kebudayaan memiliki kedekatan dengan masyarakat sehari-hari.
Bagaimana Perspektif Para Cakada Terhadap Kebudayaan?
Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, mengungkapkan pandangannya mengenai isu budaya dalam ranah Pilkada. Dirinya menilai bahwa budaya menjadi isu mendasar untuk dibicarakan, akan tetapi sulit jika dilakukan (Tempo.co, 16-22/09/2024). Lebih lanjut ia menuturkan bahwa hal ini dikarenakan pandangan sempit para paslon. Selama ini isu budaya hanya ditilik sebagai kesenian saja. Budaya bukan hanya seni saja tetapi lebih luas daripada itu. Senada pula dengan apa yang dibicarakan oleh Si Doel, sapaan untuk rano karno, tentang para cakada yang belum paham arti kebudayaan. Bagi dirinya kebudayaan memiliki arti lebih besar dari sekadar kesenian, dan jika tidak dikelola maka kita akan kehilangan budaya tersebut.
Wujud Kebudayaan
Mendiang guru besar sekaligus Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat, mengatakan bahwa wujud kebudayaan itu ada tiga. Ide, aktivitas, dan material merupakan tiga wujud kebudayaan. Ide atau gagasan adalah suatu wujud kebudayaan yang tidak dapat dilihat secara fisik tetapi dapat dirasakan melalui nilai, aturan, serta norma. Wujud kebudayaan ini dapat mengantarkan kita kepada dua wujud kebudayaan lain, yakni aktivitas dan material.
Aktivitas menjadi wujud kebudayaan yang memperlihatkan interaksi antara manusia. Bagaimana kehidupan mereka saling bersinggungan secara sosial, umumnya akan memperlihatkan pola atau struktur tertentu. Dengan begitu maka akan terbentuk suatu sistem sosial dalam kebudayaan masyarakat. Wujud selanjutnya dalam kebudayaan adalah material. Wujud ini paling mudah diamati karena berbentuk budaya fisik atau bendawi. Kita dapat melihatnya melalui berbagai tinggalan artefak Arkeologi.
Potensi Budaya Dalam Pengembangan Daerah
Budaya yang biasanya menjadi isu terpinggirkan justru dapat memberi dampak yang signifikan dalam membangun daerah kita tercinta. Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan secara gamblang menyatakan bahwa budaya perlu diberikan perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Pertanyaannya, sejauh mana potensi budaya untuk dikembangkan oleh daerah?
Banyak daerah seperti Jogja, Solo, Bali yang menjadikan budaya sebagai identitas kebanggaan mereka. Ungkapan seperti Jogja yang istimewa lahir dari kebudayaan yang dirawat. Dengan begitu, masyarakat yang tinggal maupun sekadar berkunjung menjadi nyaman dengan daerah tersebut. Beberapa wilayah lain seperti Sragen turut juga dalam membentuk identitas budaya mereka dengan menampilkan tugu maupun gapura yang berbentuk fosil gading gajah purba.