Dalam situasi hari ini mungkin ada satu harapan warga Kota Medan yang sekian lama tertunda. Tak berlebihan jika sebagian warga kota mendambakan sebuah kepemimpinan kota yang mampu membawa kebaikan dan kebanggaan.
Mengapa soal kebanggaan? Dan, kenapa pula dengan kepemimpinan kota? Sabar, begini penjelasannya. Medan ini kota besar, punya sejarah unik, panjang dan cemerlang yang membuat bangga para warganya.
Sebagai kota terbesar setelah Jakarta dan Surabaya pantaslah Medan menjadi indikator kemajuan nasional. Maka menjadi sebuah kesedihan bagi warga kota ketika melihat perkembangan Medan sekitar 10 tahun terakhir justru mengalami penurunan. Medan dinilai sebagai kota terjorok, pemimpinnya terkena kasus korupsi, infrastruktur kota yang buruk, genangan air dan banjir, begal dan kriminalitas.
Pemerintahan (governance) kota adalah kunci. Dan, siapa yang akan menjadi pemimpin di Balai Kota sesungguhnya adalah nukleus atau inti dari solusi struktural yang kita butuhkan. Sosok pemimpin dan pemerintahan di tingkat daerah sejatinya menjadi titik utama dalam memastikan tujuan kita berbangsa dan bernegara akan tercapai atau sebaliknya.
Model pemerintahan daerah yang berkapasitas dan berintegritas, sungguh-sungguh melayani, melindungi dan membahagiakan seluruh warga rakyatnya, mendorong penciptaan lapangan kerja dan pemerataan ekonomi, adalah hal-hal yang kita butuhkan guna terwujudnya cita-cita kesejahteraan rakyat secara luas.
Telah begitu banyak cerita sukses kemunculan kepala-kepala daerah yang berprestasi. Mereka rendah hati, dekat dengan rakyat, kreatif dan inovatif dalam membangun daerahnya, bekerja keras dan fokus, bersih dari korupsi, serta mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Tak jarang di antara mereka yang masih berusia muda.
Dengan kemudaannya itu mereka lebih bersemangat membawa daerahnya menuju berbagai perbaikan dan keberhasilan. Daerah-daerah berprestasi ini pun kemudian menjadi percontohan dan tujuan prioritas bagi program-program nasional yang membanggakan. Membanggakan, tak hanya bagi warga kota, namun juga warga bangsa, karena harumnya mendunia. Banyuwangi di bawah bupati Azwar Anas adalah contoh sempurna untuk ini.
Berdasarkan survei yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga penelitian nasional dengan sejumlah peneliti dari USU, warga kota Medan sebagai masyarakat urban dan majemuk memiliki dinamika dan rasionalitas yang tinggi yang melatarbelakangi pemikiran maupun sikap-sikapnya. Khusus dalam hal perilaku memilih (voting behavior), meski terdapat aspek sosiologis terkait pertimbangan agama dan keyakinan ikut menjadi faktor yang mempengaruhi, namun hal itu cuma sebatas 20 persen kurang. Selebihnya sikap dinamis, rasional dan bahkan kecenderungan pragmatisme lebih mendominasi.
Pilihan rasional ini yang membuat warga kota Medan sangat objektif dalam menilai segala sesuatunya. Meski demikian, jika situasinya tidak ideal, sejak awal tak dilibatkan dalam proses, dinilai tak benar dan tak membawa manfaat, atau tak memenuhi kriteria rasionalitas mereka, maka warga Medan dapat saja mengambil sikap pasif, cuek bahkan resisten. Inilah yang melatarbelakangi apatisme warga Medan dalam banyak hal.
Tulisan ini bertujuan hendak mengajak warga kota Medan untuk menggunakan rasionalitasnya secara kolektif membangun langkah yang lebih positif. Pesimis OK, kritis harus, tapi yang terpenting hari ini adalah bagaimana kita semua dapat berpartisipasi bersama-sama, istilah hari ini berkolaborasi, membangun kota Medan dengan berbagai peluang dan tantangannya. Keinginan kita satu, sama-sama ingin memperbaiki Kota Medan yang kita cintai.
Jika kita menginginkan Medan yang lebih baik dan lebih maju maka pilihan yang paling rasional adalah dengan berpartipasi. Satu-satunya pilihan adalah memastikan kita terlibat dalam sebuah proses politik. Dengan terlibat kita bisa berkolaborasi menawarkan atau mempengaruhi agenda, serta ikut menjalankan dan mengawasi proses implementasinya.