Lihat ke Halaman Asli

Full Day School, "The Show Must Go On"

Diperbarui: 17 Juni 2017   02:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Full Day School, terjemahan bebasnya sekolah sehari penuh. Dari kalimat itu saja sudah membuat orang-orang bertanya-tanya. Artinya seorang anak usia sekolah harus bersekolah seharian penuh atau sehari penuh berada di sekolah, dari pagi sampe sore barulah bisa pulang kerumah masing-masing. Ini membuat kesempatan orangtua masing-masing anak cuma malam hari saja bisa ketemu, itupun sebentar karena keburu si anak ngantuk untuk cepat tidur karena besok sudah menunggu harus kembali ke sekolah dari pagi sampe sore. Jika si anak memaksakan diri untuk begadang sekedar bercengkerama dengan orangtuanya besar kemungkinan perkembangan fisik si anak akan terganggu, mudah sakit-sakitan karena kurang tidur atau minimal ngantuk di sekolah, jika ini terjadi apakah si anak akan optimal menerima pelajaran yang disampaikan gurunya di kelas sekolah. apakah ini nantinya tidak akan secara perlahan membunuh karakter si anak menjadi pemalas, karena ngantuk melulu ataupun si anak akan menjadi bodoh bukannya pintar karena tidak bisa menangkap mata pelajaran yang diajarkan dengan sempurna.

Ah.. ketika membayangkan ini semua, terasa ngeri.. Bagaimana nasib anak bangsa generasi penerus ini kelak jika menangkap pelajaran di sekolah saja tidak sempurna, ekstrimnya ini adalah pembunuhan karakter si anak menjadi layu tidak berkembang sebagaimana kondisi normalnya. Belum lagi kesempatan untuk menambah pengetahuan keagamaan semisal mengaji di Madrasah atau TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an) sepulang sekolah yang biasanya tersebar dibilangan Masjid seputar rumah mereka. Semakin ngeri jadinya.., menipis sudah pengetahuan pendidikan keagamaan mereka, jika sudah menipis khawatir mereka jadi tak peduli dengan yang namanya agama plus Tuhan sebagai keyakinan yang dimiliki oleh orang-orang beragama. Akhirnya mereka menjadi Atheis, tidak percaya sama sekali dengan adanya Tuhan. wah..ini gawat.

Namun, kebijakan ini sepertinya akan terus melenggang menuju start awal tahun ajaran baru di sekolah bulan Juli nanti. Semua kritikan dari komponen bangsa terhadap kebijakan ini, belum lagi yang disampaikan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) terlihat akan dikesampingkan, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. The Show Must Go On, pertunjukan mesti harus tetap berjalan apapun yang terjadi. sekarang tinggal lagi hanya bisa menyumbangkan fikiran dengan harapan bisa terpenuhi.

Fikiran itu, salah satunya yang terbaca di publik, kiranya kebijakan ini tidak diterapkan kesemua sekolah, untuk sekolah di daerah hal ini tidak usahlah diterapkan atau pengecualian, tapi ini pun kalau didengar. Satu lagi fikiran dari saya, jika memang harus mau tak mau diterapkan full day school ini, maka di setiap sekolah tanpa terkecuali harus disiapkan dan dibangun Madrasah atau TPA walau cuma lingkup sekolah itu saja. Dari pagi sampe tengah hari di sekolah bisa digunakan untuk si anak belajar pendidikan umum dan dari tengah hari sampe sore si anak harus mengikuti pendidikan keagamaan mereka. Jadwalnya bisa diatur dengan diselingi mengikuti kegiatan ekstra kurikuler sebagai proses tumbuh kembang motorik untuk pembentukan karakter si anak yang tangguh nantinya. Memang ini mungkin akan membutuhkan "cost" yang tidak sedikit, tapi tampaknya akan tertutupi dengan RAPBN/RAPBD untuk bidang Pendidikan menempati porsi terbesar di Negeri kita.

Ketika fikiran ini tidak juga menjadi perhatian penentu atau pengambil kebijakan di Negeri ini, jangan harap full day shool akan melanggeng mulus. Bayangan kengerian seperti diatas akan terus membayangi kita yang mempunyai anak, kemenakan, cucu dan cicit di rumah kita. Hal ini lantas juga janganlah ditakuti karena lebih mengarah ke agama Islam, agama lain pun tetap diberikan sesuai porsinya di sekolah dalam artian lihat jumlah si anak pengikut agama tersebut. Tidak harus mesti membuat gereja atau pura, vihara jika porsi anak pengikut agama itu sedikit yang bersekolah disana. Ruangan lain pun di sekolah bisa disetting untuk keperluan itu.

Jadi tulisan ini mencoba memberikan sumbangan fikiran seperti tersebut diatas. Tidak usah dilihat siapa yang menulisnya, tapi coba lihatlah apa buah fikiran yang dituliskannya. Memaksa memang., karena setelah difikir-fikir, setelah sempat "colling down" wacana full day school ini beberapa waktu lalu, sekarang tampaknya kembali mengudara ke publik dan The Show Must Go On tadi, jalan dulu, baru lihat nanti kondisinya. Kalau begini untuk apa kita diberi kemampuan fikiran untuk menganalisa, mempertimbangkan, memperkirakan dengan indikator-indikator jelas dan terukur yang semua itu pastilah dipunyai personil-personil dalam Kementerian Pendidikan kita.

Semoga tulisan ini sebagai salah satu sumbangan pemikiran dari anak bangsa bisa berguna dan bermanfaat bagi khususnya full day school di Negeri yang kita cintai ini. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline