Lihat ke Halaman Asli

Diskusi Tentang Perut yang Mesti Terisi, Tentang Pilihan Pahit Terpaksa Dilalui

Diperbarui: 6 September 2015   02:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika berdiskusi dengan beberapa teman belum lama ini tentang peristiwa pembegalan motor ojek di daerah kami yang menyebabkan korban meninggal karena ditusuk dari belakang oleh penumpangnya, diskusi kami membahas kenapa begal motor semakin nekat akhir-akhir ini dan akhirnya menghangat kemasalah perekonomian masyarakat yang terlihat semakin terpuruk belakangan ini.

Kenapa tidak.., masyarakat di daerah kami yang rata-rata penghasilan mereka dari berkebun karet dan sawit sebagai penopang kebutuhan hidup mereka sehari-hari ternyata semakin hari semakin turun harga penjualannya di pasaran. Harga karet alam yang dijual petani sekarang berkisar Rp.3.000,- (tiga ribu rupiah) per kilo-nya dan harga sawit setelah dipanen berkisar Rp.500-600 (lima ratus-enam ratus perak) per kilo-nya. Dengan harga sebegitu tidak akan sebanding dengan harga beras yang rata-rata Rp.10.000 (sepuluh ribu rupiah) per kilo-nya, minus sekian rupiah untuk mencapai harga beras tersebut. Darimana mereka akan menutupi minus tersebut dengan karet Rp.3.000 dan satu blok kepingan rata-rata berkisar 10-20 Kg, jika dikalikan dengan harga Rp.3.000 tadi maka hasilnya (Rp.3.000 X 10 Kg = Rp.30.000) artinya cuma dapat 3 Kg beras atau taroklah 6 Kg beras jika per keping karet tersebut 20 Kg. Sedangkan kebutuhan beras per keluarga dengan anak 2 orang saja rata-rata setiap bulannya mencapai 20-30 Kg beras pada setiap rumah tangga. Kekurangan 17 Kg beras per bulan atau 14 Kg jika dapat nya 6 Kg. Lantas darimana masyarakat menutupi kekurangan pangan (beras) dengan hitungan secara kasar tersebut belum lagi ditambah dengan lauk pauknya. Jika dihitung dengan hasil panen sawit tentu lebih rendah lagi.

Dari diskusi kami, menuding ke pengusaha keturunan China yang mana mereka lah rata-rata menguasai bisnis pool karet (tempat penampungan jual beli karet). Mereka yang akan menentukan harga untuk membeli karet hasil sadapan masyarakat. Harga dalam perhitungan pasar akan menjadi naik jika permintaan banyak tapi persediaan barang sedikit. Jika di asumsi kan kenapa harga karet turun artinya persediaan banyak tapi permintaan akan produksi karet ini sedikit, benar begitu kan..?. Lanjut..

Salah seorang teman menceritakan bahwa dia menonton TV (Metro TV kalau gak salah) beberapa hari yang lalu dalam sebuah acara bertajuk talk show dimana ada pejabat dari daerah ikut hadir menjadi nara sumber ditambah ada anggota DPR dan Kejaksaan ikut hadir. Dan saya sudah berupaya mencari hasil upload rekaman dari acara talk show tv tersebut melalui internet untuk menambah kevalidan dari cerita teman tersebut tapi tidak ketemu juga. Dari cerita teman tersebut menjelaskan bahwa tentang kenapa lambatnya penyerapan anggaran pada setiap instansi pemerintah yang sampai saat ini masih berkisar di angka 43-53 persen sedangkan beberapa bulan lagi tahun 2015 ini akan segera berakhir. Penyerapan anggaran ini pula yang akan menjadi salah satu tolok ukur untuk peningkatan perekonomian global Indonesia (seperti pernah diutarakan Presiden Jokowi). Kami menjadi bingung, apakah hal ini memang sangat berkolerasi dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi, bagaimana dengan harga karet dan sawit yang tidak juga kunjung naik..?

Cerita teman trus berlanjut bahwa dari instansi tentang penyerapan anggaran yang masih sedikit, nara sumber menjelaskan bahwa adanya sejenis sindrom ketakutan yang menjalar kepada para pelaku (pejabat pelaksana teknis kegiatan/PPTK) pada instansi untuk pro aktif menjalankan kegiatan yang telah ditugaskan kepadanya. Ketakutan itu mengarah kepada tudingan sangkaan akan terjadinya korupsi pada pelaksanaan kegiatan yang dilakukan PPTK. Selama ini jika terjadi kesalahan administrasi tidak akan di pidana kan (dituduh korupsi), cukup segera membenahi kesalahan serta melengkapi kekurangan administrasi itu saja. Sedangkan sekarang jika terjadi kesalahan administrasi bisa diancam atau dianggap korupsi dan tentu pidana akan menanti. Ketidak sinkronan antara pemahaman BPK dan BPKP tentang pemahaman volume kegiatan misalnya ok (orang kegiatan) dengan oh (orang hari), juga dapat menjadi pemicu kesalahan administrasi. Jika insentif untuk panitia pelaksana kegiatan MTQ di daerah misalnya, pada kolom volume dituliskan dengan ok (orang kegiatan) sedangkan pelaksanaan kegiatan tersebut mencapai tiga-empat hari, kalau dituliskan oh (orang hari) maka akan terkena kesalahan administrasi. Menurut BPK tidak menjadi masalah sedangkan menurut BPKP hal itu tidak diperbolehkan dan bisa melanggar atau kesalahan administrasi.

Cerita lainnya dari nara sumber DPR bahwa tidak perlu terlalu takut untuk melaksanakan kegiatan karena lazimnya telah ada kesepakatan (MOU) antara Kejaksaan dengan instansi di daerah. Sederhananya fihak Kejaksaan tidak akan terlalu menelisik sampai jauh keakarnya tentang setiap pelaksanaan kegiatan oleh PPTK di instansi. Tapi pada faktanya, Kejaksaaan mempunyai target yang harus tercapai sebagai indikator keberhasilan kinerja mereka. Salah satu nya terhadap penginderaan atau pemantauan kegiatan yang mengarah korupsi. Dilemma ketika kesalahan administrasi juga dianggap atau disangkakan sebagai indikasi korupsi, ini yang membuat para PPTK berfikir bolak-balik untuk melaksanakan suatu kegiatan yang telah ditugaskan kepadanya oleh pimpinan instansi, salah-salah bisa masuk penjara nih… sedangkan sang pimpinan tidak akan terkena imbasnya (selamat melenggang).

Kembali kepada penyerapan anggaran, apakah memang benar dengan cepatnya penyerapan anggaran, ekonomi akan mengalami peningkatan. Dengan anggaran yang terserap cepat membuat pemerintah (instansi) akan membelanjakan modal untuk pembangunan infrastruktur dan dengan terbangunnya infrastrukur geliat perekomonian rakyat akan meningkat. Jalan, jembatan, waduk, gedung untuk fasilitas umum termasuk kedalam infrastruktur yang dibangun pemerintah. Andaikan semua itu telah dibangun dengan membelanjakan modal termasuk didalamnya material untuk infrastruktur itu (semen, pasir, batu, batu bata dsb) yang dibeli ke toko penjual material dimiliki masyarakat (pelaku usaha) trus si pelaku usaha akan membelanjakan keuntungannya untuk keperluannya sehari-hari kepada juga pelaku usaha misalnya pedagang sayur atau pedagang kelontongan dsb. Inilah mungkin yang membuat perekonomian rakyat menjadi semakin meningkat. Dan apakah nanti ini juga akan membuat harga karet dan sawit menjadi naik dengan indikatornya si pelaku usaha pool karet (cukong China) bisa menjual karet pada pool karet nya dengan harga tinggi dan imbasnya bisa membeli karet rakyat dengan harga tinggi juga (menjadi Rp.15.000 atau lebih per kilo nya). Mungkin ini bisa menjawab itu, akan tetapi ketika karet hasil sadapan rakyat yang akan dibawa ke pool karet harus menggunakan kendaraan (roda empat) sebagai alat transportasinya, perhitungan BBM kendaraan tersebut menjadi perhitungan sendiri untuk cost sebuah produksi, harga karet sebesar tiga ribu rupiah per kilo tadi akan dipotong untuk membeli BBM (menyusut lagi). Andaikan BBM lebih turun dari harga sekarang saja masih belum mampu untuk menutupi hitungan cost tadi. Rakyat menjerit bukan…? Dan imbasnya kriminalitas begal motor meningkat seperti cerita diskusi kami diatas.

Akhirnya, kebingungan dalam diskusi itu sangat mungkin terjadi karena teman-teman dalam diskusi itu tidak satupun yang mengerti dan faham dengan teori-teori ekonomi, dus termasuk saya sendiri dalam menuliskan hasil diskusi dengan teman-teman itu termasuk salah atau yang kurang memahami dalam menganalisa perekonomian. Mohon maaf kepada para pembaca, jangan lantas artikel ini dijadikan pedoman untuk menganalisa situasi perekonomian terkini di Negara tercinta Indonesia. Fakta dan data tentulah tidak akan seakurat dan berbeda jika tulisan ini dianalisa serta dituliskan oleh orang-orang yang benar-benar mengerti dan faham tentang teori-teori perekonomian. Tulisan ini hanyalah sekedar bentuk keprihatinan dan kekhawatiran tentang kondisi harga jual karet atau sawit yang tidak kunjung naik dan takut imbasnya menjadikan masyarakat semakin brutal karena perut mereka lapar, masyarakat menjadi semakin berani untuk membegal motor karena perut mereka harus terisi, masyarakat menjadi semakin menjunjung adagium “lebih baik mati esok hari daripada mati hari ini”. Jauhkan bala ini Ya Tuhan..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline