Lihat ke Halaman Asli

Dari Hari ke Hari; Kisah Anak Jakarta Terdampar di Solo

Diperbarui: 4 April 2017   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13957673822089909550

Membaca Dari Hari ke Hari, saya seolah terlupa bahwa penulis novel ini, Mahbub Djunaidi, sudah tiada. Bahkan bahwa novel ini sudah berusia 40 tahun pun, tidak terasa oleh saya pada awalnya.

Novel yang juga pernah diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada 1975 ini, kembali hadir di hadapan kita sejak diterbitkan ulang pada Februari 2014, oleh Majalah Surah bekerjasama dengan Yayasan Saifuddin Zuhri.

Sampul depan terbitan terbaru novel Dari Hari ke Hari. Foto oleh Majalah Surah

Kepiawaian Mahbub dalam penulisan novel ini, seperti juga dalam ratusan tulisannya yang tersebar di berbagai media di antaranya Kompas, Tempo, dan Merdeka pada sebelum tahun 1995, sangat kentara. Gaya yang tampaknya sederhana, tidak berumit-rumit dalam penggunaan bahasa dan kosakata, menjadi ciri khas dalam keseluruhan novel yang juga merupakan pemenang Sayembara Roman DKJ 1974 ini.

Lihat misalnya gaya Mahbub yang asyik itu, langsung terasa sejak bagian pembuka novel ini.

Sore yang jatuh membuat kereta api, si Jerman tua bangka itu, menjadi anggun dan muda. Sekarang dia memekik-mekik, waktunya mengambil kepastian: inilah daerah republik yang betul-betul republik. Sungai Bekasi yang malas, sudah kelewat, terlempar jauh ke deretan gerbong belakang. Bau batu bara dan jerami menampar dari hampir semua jurusan. (Dari Hari ke Hari halaman 2)

Penempatan tokoh utama sebagai pencerita yang masih berusia belasan tahun, menjadi daya tarik lainnya dalam novel ini. Pencerita yang masih anak-anak, yang dengan kepolosannya mengisahkan kejadian yang terjadi dan pemikirannya sebagai anak-anak, menimbulkan kesan bahwa novel ini, walau menceritakan kejadian yang berat, menjadi kisah ringan yang segar.

Tak ada semuanya itu. Pagi ini kota sudah berubah tabiat. Dia tidak luwes lagi melainkan linglung. Terdengar kabar dari Yogya, tiada harapan perundingan lagi. Di hari kesebelas bulan Desember ’48, Belanda sudah memutuskan begitu. Komisi tiga negara sudah tidak berdaya, karena Belanda hanya mau mendengarkan suara hatinya sendiri.

Hari berjalan dengan lambat, tak tahu kemana pergi. Yang kelihatan tergesa-gesa hanyalah tentara. Mereka mengusung barang-barangnya keluar, tapi menggotong benda lain masuk. Benda bulat panjang sebesar 7 atau 8 kali buah cempedak. Kata orang, itulah yang namanya bom tarik. Bom! Tarik atau bukan tarik, bom adalah bom. (Dari Hari ke Hari halaman 112)

Dari dua alinea yang saya kutip di atas, kita mendapati bahwa pemikiran yang tercermin dalam kata-kata di atas adalah dari sudut pandang anak-anak. Sehingga dalam menceritakan apa yang diamati, didengar, atau dirasakan dan dipikirkan, benar-benar dari sudut pandang seorang anak.

Karena kepolosan seperti itu, pencerita tidak memaksakan cerita yang membebani, sebuah gaya yang sangat jarang digunakan, mungkin tidak pernah, untuk cerita yang berjenis atau bermuatan sejarah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline