Salah satu di antara sekian banyak acara di televisi Indonesia adalah film dubbing, yakni film produksi negara asing yang disulihsuarakan dengan bahasa Indonesia. Walau banyak yang lebih suka menonton film asing dalam bahasa asli dari film tersebut, film dubbing mendapat tempat di hati sebagian masyarakat. Bisa menonton sambil sesekali melakukan aktivitas, tidak pusing membaca subtitle terjemahan yang cepat sekali tertulis di layar, adalah sedikit alasan mengapa masyarakat lebih nyaman menikmati film dubbing.
Sementara mereka yang tidak menyukai film dubbing juga memiliki alasan. Film dubbing terdengar tidak natural, intonasi penyulih suara yang aneh, dan ketidaksesuaian gerak bibir karakter yang diisi suaranya dengan suara para penyulih suara yang berperan suara untuk karakter bersangkutan, adalah alasan sebagian dari masyarakat yang tidak menyukai film dubbing.
Sebagai salah satu pelaku seni peran suara yang sesekali menjadi penyulih suara untuk film asing, saya sendiri sering merasa tidak puas bahkan dengan hasil dubbing-an saya sendiri. Tidak jarang dalam proses dubbing, saya berbeda pendapat dengan 'pemilik kuasa' proses dubbing sebuah film. Ketidaksesuaian itu di antaranya adalah penggunaan kosakata yang ingin saya pakai, yang menurut saya lebih pas sementara menurut 'pemilik kuasa' tidak pas.
Ketidaksesuaian kosa kata ini idealnya tidak menjadi perdebatan atau sekadar perbedaan saat proses dubbing berlangsung, sebab saya toh tinggal membacakan teks terjemahan. Dan justru di sinilah pangkal permasalahannya. Yaitu penerjemah film tersebut ternyata menerjemahkan film bukan dengan menonton film, melainkan dari teks bahasa asing langsung ke dalam bahasa Indonesia. Maka wajar bila hasil terjemahan kadang tidak sesuai dengan ruh yang ingin disampaikan oleh film secara keseluruhan.
Belum lagi soal intonasi atau cengkok suara untuk mengekspresikan kalimat atau kata. Masih bertalian dengan hasil terjemahan, di mana kadang kalimat bahasa asing menjadi sangat pendek atau sangat panjang setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dituntut agar lypsink, yaitu tepatnya gerak bibir tokoh dengan suara penyulih suara, sekaligus dipaksa mengucapkan kalimat dan kata yang tertulis di kertas terjemahan, seorang penyulih suara sangat sering dipaksa membacakan keseluruhan kalimat yang sangat panjang itu, atau melambatkan kalimat-kalimat terjemahan bila mulut karakter masih bergerak padahal kalimat terjemahan sudah habis.
Hal tersebut diperparah lagi bila 'pemilik kuasa' dubbing menambahkan ketentuan: ucapkan kalimat terjemahkan hanya sesuai dengan kalimat terjemahan, tanpa boleh improvisasi, tanpa boleh mengganti kata dan susunan kata. Padahal sulih suara yang baik adalah bagaimana meng-Indonesiakan film asing, bagaiman agar film dubbing terasa Indonesia. Dalam hal ini, saya beranggapan bahwa sulih suara berdekatan dengan menjaga bahasa dan budaya Indonesia itu sendiri.
Oleh sebab itu, dalam proses dubbing kesadaran semua pihak yang terkait, sangat diperlukan. Pihak-pihak itu setidaknya adalah pemilik proyek atau pihak televisi, penerjemah, pengarah dubbing dan penyulih suara yang terlibat. Kesadaran akan bagaimana mengeksekusi sebuah film dubbing. Hal ini penting, sebab walau melibatkan banyak pihak, olah masyarakat awam, para penyulih suara-lah yang dianggap sebagai pihak paling bertanggung jawab akan baik buruknya film yang mereka sulihsuarakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H