Malam itu saat purnama bersinar terang, seekor anak tikus terlihat berjalan lincah di depan ibunya. Seperti biasa, mereka keluar dari sarangnya hendak mencari makan. Anak tikus itu pintar, dan selalu ingin tahu itu berkali-kali bertanya pada ibunya. Dan dengan penuh kesabaran ibu menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan anak kesayangannya itu.
Namun, saat mereka sampai diujung lorong yang gelap, di antara dua geduang tua, tempat biasa mereka mencari makan di tong sampah yang selalu penuh makanan, anak tikus itu terkesima melihat kelelawar-kelelawar yang keluar dari sarangnya.
Anak tikus yang baru keluar sarang itu langsung meloncat-loncat, ia girang melihat makhluk yang mirip dirinya. Ia terus mengikuti kelelawar-kelelawar itu sambil merentangkan kaki depannya membentuk sayap. Ia ingin bisa terbang juga.
Dan saat ia tak juga bisa melayang-layang di udara seperti halnya kelelawar-kelelawar itu, ia langsung berbalik ke arah ibunya yang tengah mencari makan di tong sampah itu.
"Ibu, ibu" anak tikus itu memanggil ibunya.
Ibu mengelurkan kepalanya dari dalam tong sampah. Ia melihat anaknya berlari-lari ke arahnya dengan penuh semangat. Ia kemudian keluar dari tempat sampah, dan menyongsong anaknya.
"Iya, nak, ada apa lagi?" tanya ibunya lembut. Anak tikus itu menunjuk ke atas di mana kelelawar-kelelawar itu beterbangan.
"Itu makhluk sejenis kita, kan, bu? Mukanya mirip kita," tanyanya. Ibunya tersenyum, ia lalu menganggukkan kepala.
"Iya, nak, mereka bernama kelelawar," jawab ibunya sabar. Anak tikus itu semakin bersemangat.
"Kok mereka bisa terbang, kita tidak bisa, bu? tanya anak itu lagi. Ibunya tersenyum bijak.
"Apa nanti saat besar aku juga bisa seperti mereka?" sambung anak tikus. Ibunya mendekat, ia kemudian mengelus-elus kepala anaknya dengan lembut.