Lihat ke Halaman Asli

Menghadapi Kemerdekaan 2015 dengan Masalah Kuota Impor Sapi Lagi

Diperbarui: 11 Agustus 2015   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kenaikan sapi sejak tanggal 9 Juli 2015 sampai 11 Agustus 2015 sebesar Rp. 3.500.000/ekor, ini merupakan kenaikan tertinggi pasca dikeluarkannya quota triwulan yang hanya 50.000 ekor per 3 bulan. Jelas ini merupakan pukulan telak bagi para stake holder daging sapi, bukan hanya quota tetapi pemberhentian daging impor jenis secondarycut dan jeroan dinilai perlu di kaji ulang.

Meroketnya harga saat ini telah diprediksi jauh - jauh hari bahwa bola panas ini akan berujung pada ketidakmampuan penyerapan daging sapi oleh konsumen akibat harga terlalu tinggi dan kenaikan terjadi secara mendadak. Meskipun kenaikan ini memiliki hal janggal karena terjadi serempak dan persis sama pada tiap feedloter sebesar Rp. 2000,tiap kenaikan (bukti faktur dari tanggal 9 Juli 2015 ke pada para bandar). Adanya pemogokan berjualan di sejumlah daerah ini jelas murni tanpa kepentingan, karena dampak yang terjadi belangsung secara menyeluruh terhadap : pemerintah,feedloter/ importir dan pedagang.

Pemerintah terkena dampak dari kebijakannya yang membatasi pasokan sapinya dari Australia, ini terbukti lemahnya kedaulatan pangan kita yang terlihat dari ketersediaan stock sapi lokal saat ini yang memang kesehariannya tidak pernah terlihat dipotong di RPH di Bandung, jabodetabek pada saat satu tahun kebelakang karena langkanya sapi lokal.

Feedloter/importir mulai mencari solusi karena ancaman mendag, berupa sanksi tegas bagi para perusahaan penggemukan sapi atau feedloter yang juga importir namun menimbun pasokan sapi (detik.com 10-08-15). Ketentuan Undang-undang soal pangan dan perdagangan akan dipakai pemerintah untuk menjerat feedloter nakal. Jika kita lihat ada beberapa feedlot saat ini yang cepat menurunkan harga sapinya, entah pemerintah akan mengizinkan impor sapi kembali dan ditangani BUMN atau kah ada mekanisme pengaturan harga yang sudah di rancang jauh jauh hari agar tidak terjadi gejolak.

Pedagang dengan tidak berdagang selama 4 hari, mengalami pengurangan keuntungan dan perputaran uang di pasar. Menariknya, untuk daging sapi dalam satu pasar kecil yang sehari-harinya memotong 25 ekor sapi ini, mempunyai perputaran uang sekitar 400 juta, dikali dengan 4 hari menjadi sekitar 1,6 M. Dan kalau dikali dengan satu kota yang mempunyai 20 pasar, maka ada 32M perhari uang yang tidak berputar. Ini berefek domino pada segmen lain yang berkaitan, seperti berhentinya penjual bakso dimana ada tukang bawang daun, bawang merah, cabe, vetsin, garam, saos, kecap, saosin, sawi, ayam, pangsit, minyak sayur, mie, tepung terigu, banyak sekali komponen-komponen kecil lainnya yang ikut terkena dampaknya. Berapa banyak jumlah tenaga kerja yang harus “beristirahat”mulai marketing sapi, jagal, bandar, pemotong, penimbang, ratusan kepala keluarga, sementara kebutuhan hidup terus berlanjut.

Solusinya sederhana saja sebenarnya kalau jawabannya ditanyakan pada ahlinya langsung, bagai manapun kondisi saat ini ada baiknya jangan saling menyalahkan, tuduh menuduh, atau salah langkah dalam mengatur kebijakan karena bisa jadi ada babak kedua setelahnya.
Berdasar komponen ada beberapa rantai utama : Pemerintah - Feedlot/importir – pedagang - masyarakat

Apakah mau pemerintahsebagai pedagang (ambil untung), bukan sebagai stabilitator yang merupakan fungsi dari pemerintah? Caranya tambahkan qoutanya hanya untuk bulog salurkan melalui bumn dibawahnya mungkin RNI dan berdikari. Tapi apakah ini menjamin sampai konsumen akhir sebab komponen atau pengaturan dagang jika diserahkan pada feedloter/importir lagi, maka akan mengulang kejadian 2012 kembali, daging akan mahal di tingkat pembeli. Bisa terjadi jual beli quota lagi.

Apakah mau masyarakat yang merasakan stabilnya harga daging? buka keran impor sapi diatas 250.000 ekor per 3 bulan, buka kembali secondary cut, jeroan impor untuk daging impor. Datangkan daging sapi bukan hanya dari Australia sebagai pembanding harga. aplikasikan uu no 41 thn 2014. Kembalikan pada mekanisme pasar. Operasi pasar bukan solusi, masa dalam satu kota Bandung yang biasanya memotong sapi 400ek per hari dan masuk daging impor sekitar 40 ton, hanya d ganti 2 ton daging. Ini bukan politik untuk pencitraan ini jelas tentang supply dan demand yang bisa di hitung dan disepakati bersama para stake holder.

Apakah mau peternak yang merasakan keuntungan? kan jelas ada solusinya. Dan bisa dibuat konsepnya, dengan konsep! Sekali lagi, bukan dengan instan. Apakah dengan pembuatan masyarakat berbasis ternak sapi sebagai sambilan pada rumah tangga? Apakah menyerap tenaga kerja 20.000 orang dengan peternakan sapi potong? Apakah integrasi antara kebun sawit dan pemeliharaan ternak sapi? Apakah Indonesia bisa jadi peng ekspor ternak dalam 20 tahun kedepan? Jelas ada solusi nya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline