Partai politik tidak didirikan begitu saja, melainkan memiliki tujuan untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Partai politik didirikan dengan tugas dan fungsi yang harus dijalankan. Adapun kesuksesannya dapat dilihat dari fungsi-fungsi yang diimplementasikan partai politik tersebut. Menurut Dr. Yusa Djuyandi dalam buku Pengantar Ilmu Politik, terdapat beberapa fungsi partai politik yang mencakup sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, komunikasi politik, dan sarana pengatur konflik. Namun, dalam pelaksanaannya tidak semua partai politik mampu menerapkan fungsi tersebut dengan optimal, terutama pada fungsi sarana pengatur konflik.
Sebagai sarana pengatur konflik, partai politik seharusnya dapat menjadi mediator ketika terdapat perselisihan ataupun kekacauan dalam masyarakat. Namun, nyatanya masih ada konflik di dalam partai politik itu sendiri. Perpecahan internal partai pun sudah sejak dulu terjadi di Indonesia. Pada tahun 1999, banyak partai politik yang mengalami perpecahan, termasuk PDIP, Golkar, PKB, dan PKS. Selain itu, partai politik pun bahkan dapat lahir dari konflik internal tersebut. Misalnya yang terjadi pada perpecahan di dalam partai Golkar yang kemudian menghasilkan partai Gerindra, Nasdem, dan Hanura.
Masa kini terdapat pula konflik internal yang dialami partai Demokrat, dimana terjadi kudeta oleh Moeldoko pada tahun 2021. Adapun kasus lainnya, yaitu partai Golkar yang mengalami perpecahan menjadi dua kubu, dimana terdapat kubu Aburizal Bakrie dan Anti-Bakrie. Hal yang menjadi latar belakang perpecahan partai politik yaitu perbedaan pandangan, tidak lagi dalam satu visi dan misi yang sama, pecahnya dukungan pencalonan dalam pemilihan umum presiden, serta tidak terakomodasinya usulan dalam partai politik.
Dari banyaknya perpecahan internal dalam partai politik tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya masih banyak partai politik di Indonesia yang belum mampu mengimplementasikan fungsi sebagai sarana pengatur konflik dalam masyarakat. Karena, masih rapuhnya pengaturan konflik di dalam partai politik tersebut. Hal itu pun dapat berpotensi menambah perpecahan dalam negara. Bahkan, alih-alih mengatur konflik dalam masyarakat, partai politik dapat menjadi alasan lahirnya konflik dalam masyarakat itu sendiri.
Maka itu, partai politik seharusnya megupayakan untuk melakukan penguatan kelembagaan agar menjadi institusi yang dapat berjalan dengan optimal. Mulai dari konteks penguatan kaderisasi, rekrutmen politik, dan mengembangkan kohesivitas internal partai.
Dalam pengaturan konflik pun partai politik seharusnya mendorong masyarakat untuk semakin sadar terhadap posisinya dalam proses politik dan penyelenggaraan negara. Karena, untuk menciptakan negara yang demokratis bukan hanya berpartisipasi dalam pemilihan umum. Selain itu, partai politik pun harus dapat mendorong anggotanya dan masyarakat untuk berkomitmen dan Bersama-sama meminimalisir konflik, serta mengarahkan konstituen ataupun massa kepada yang benar agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh bangsa dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H