Lihat ke Halaman Asli

Aretas Batan Hiangleraq

Upaya Menjaga Kewarasan

Menghadapi Pandemi dengan Asketisme Seturut Teladan Sartono Kartodirjo

Diperbarui: 20 November 2020   12:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by goodreads.com

Satu tahun semenjak kemunculan wabah Covid-19 di China, tepatnya di Provinsi Hubei pertengahan November tahun lalu. Menurut data dari Worldometers, pada akhir Mei lalu sudah ada 198 negara di dunia mengkonfirmasi kasus positif Covid-19 dengan jumlah kasus keseluruhan ada di angka 467.500 kasus, WHO telah menyatakan bahwa wabah ini merupakan pandemi. Angka kasus itu terus naik hingga pada pertengahan November 2020 sudah tercatat sekitar 55,6 juta kasus positif.

Wabah pandemi ini seakan-akan menjadi sebuah pukulan yang telak bagi seluruh negara di dunia. Banyak sektor yang terdampak dengan adanya pandemi ini, masalah mulai muncul dimana-mana. Sektor ekonomi salah satu yang paling terdampak dengan adanya pandemi ini, pariwisata di berbagai negara juga mulai lesu dengan diberlakukannya pembatasan keluar masuk. Pemerintah mengeluarkan kebijakan karantina wilayah untuk membatasi penyebaran virus, sehingga banyak sekolah yang meliburkan siswanya dan melakukan Study From Home. Begitupun dengan kantor-kantor yang menganjurkan para karyawannya untuk bekerja dari rumah.

Situasi ini memaksa banyak keluarga untuk berkegiatan dari dalam rumah. Orangtua yang sebelumnya sibuk bekerja di luar rumah menjadi memiliki banyak waktu untuk bersama anak-anak mereka yang juga sekolahnya menerapkan pembelajaran jarak jauh. Banyak kegiatan bersama keluarga yang bisa dilakukan dari rumah, seperti berkebun, memasak bersama, dan juga olahraga dengan salah satunya adalah bersepeda bersama. Di masa pandemi ini juga menjadi kesempatan untuk menguatkan sisi asketis kita dengan menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang semakin membuat keintiman dengan Tuhan dan juga hubungan dengan manusia yang lebih baik. Pelajaran ini bisa kita petik dari teladan seorang sejarawan Indonesia yaitu Professor Sartono Kartodirjo.

Masa Kecil Sartono Kartodirjo

Setiap dari kita tentunya pernah membaca atau minimal mengenal sejarah bangsa Indonesia. Namun, tidak setiap orang mengenal sejarawan yang sangat berperan penting dalam penyususan itu. Di negara ini, apresiasi terhadap akademisi atau ilmuwan masih sangat minim meski sekedar hanya mengingat nama.

Kenyataan ini berlaku kepada guru besar sejarah kita Prof.Aloysius Sartono Kartodirjo, pria yang lahir pada tanggal 15 Februari 1921 di sebuah puskesmas kecil tepatnya di daerah Wonogiri. Terlahir dari keluarga sederhana, Ayahnya Tirtosarojo bekerja sebagai amtenaar pemerintah kolonial. Dan Ibunya, Sutiya adalah seorang perempuan jawa yang setiap harinya bekerja sebagai pengrajin batik di rumahnya.

Sejak kecil beliau dibesarkan dalam iklim keluarga jawa yang sangat kental budaya Kejawen. Setiap malam beliau selalu dilantunkan tembang-tembang jawa oleh Ibunya. Dan juga setiap ada pertunjukan wayang beliau tidak pernah absen untuk mengikuti pertunjukannya.

Selain hidup dalam lingkungan yang kental akan tradisi Kebudayaan Jawa, sejak masih usia belia beliau juga dididik untuk menjadi manusia yang berdisiplin tinggi dalam mengerjakan banyak hal. Nilai-nilai ini dapat dilihat pada karya biografi yang menceritakan tentang beliau, Membuka pintu Masa Depan: Biografi Sartono Kartodirjo, karya M. Nursyam. Beliau sejak masih usia belia sudah diajarkan ayahnya untuk selalu berdisiplin tinggi, seperti setelah sepulang sekolah dari Hollands Indische School (HIS) untuk mencuci pakaian, memberi makan burung perkutut. (Hal 25)

Prof. Sartono Kartodirjo mengawali pendidikannya pada tahun 1927 dengan masuk di HIS Wonogiri, setelah kelas empat beliau pindah ke HIS Surakarta. Setelah itu beliau melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di tahun 1934, dari sini ia mengenal banyak karya barat dan pengalaman akademisnya makin terasah.

Lalu pada tahun 1936 beliau melanjutkan pendidikan ke Muntilan, tepatnya di Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK) Kolese Xaverius. Di sekolah ini beliau banyak belajar mengenai Teologi dari para rohaniawan yang mengajar di situ. Dan menghasilkan pribadi yang memiliki kecerdasan, kearifan, dan ketajaman jiwa. Setelah lulus pada tahun 1941, beliau dihadapkan pada pilihan untuk menjadi seorang bruder atau guru, beliau memilih jalan hidupnya untuk menjadi guru

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline