Sebuah kampung yang tidak berubah selama ratusan tahun. Wow! Ini pasti bukan tempat wisata biasa. Begitu reaksi saya saat membaca ulasan tentang kampung adat Ciptagelar di Pegipegi. Saya memang paling suka membaca travel tips dari pegipegi. Ulasannya selalu menarik terutama tentang destinasi wisata, event dan culture,dan tips travelingnya.
Dari ulasan itu saya mulai mencari tahu letaknya di peta. Kasepuhan Ciptagelar ternyata berada di Desa Sirnaresmi, Kecamaan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasepuhan ini masih termasuk dalam wilayah Taman Nasional Halimun Salak, tepatnya berada di punggung Gunung Halimun.
Untuk mencapai kasepuhan ini ternyata bukan perkara mudah. Jalan yang dilalui selepas dari jalan utama yang menghubungkan Pelabuhan Ratu -- Lebak, setengahnya adalah jalan tidak beraspal dan cukup sempit untuk dilalui oleh kendaraan roda empat. Belum lagi jalan yang berliku tajam dan curam. Kita harus rela terguncang-guncang di dalam kendaraan selama perjalanan.
Bahkan adakalanya kita harus turun untuk meringankan beban kendaraan untuk melewati tanjakan. Tetapi itu sebanding dengan keindahan pemandangan khas pegunungan di kedua sisi jalan.
Saya cukup beruntung, saat berkunjung ke Kasepuhan Ciptagelar di Bulan September 2018, saat itu bertepatan dengan persiapan pelaksanan ritual Seren Taun, yaitu ritual perayaan panen padi tahunan. Perayaan tahun 2018 ini merupakan perayaan Seren Taun yang ke 650, tradisi yang sudah sangat tua.
Dalam tradisi Kasepuhan Ciptagelar, padi dan beras memang begitu berharga. Warga kasepuhan panen padi hanya satu kali dalam satu tahun kalender. Setengah tahun pertama adalah waktu untuk menanam sampai memanen. Kurang lebih setengah tahun kedua, warga memberi waktu bagi tanah untuk memulihkan diri sebelum siap untuk ditanami kembali. Mereka tidak menggunakan zat-zat kimia sebagai pemacu produktivitas lahan.
"Sudah begitu turun temurun, sudah ratusan tahun," begitu kata Pak RT tempat saya menginap. Karenanya sistem leuit (lumbung padi) dibangun sedemikian rupa untuk menjaga ketahanan pangan kasepuhan yang membawahi ratusan kampung di sekitar Gunung Halimun ini. Leuit seperti ada dimana-mana, dibangun berjejer rapi mengelilingi kasepuhan atau berdiri berdampingan dengan rumah-rumah warga yang sederhana tetapi terlihat kokoh.
Untuk menjadi beras, warga mengolah gabah dari leuit dengan sangat hati-hati. Gabah hasil panen tidak boleh diolah menggunakan mesin penggiling tetapi harus diolah menggunakan lesung yang mengandalkan tenaga manusia. Menumbuk gabah di lesung umumnya dilakukan oleh para wanita.
Lalu, untuk menjadi nasi, beras hanya boleh dimasak dengan kayu bakar. "Saya punya kompor gas, tapi itu hanya untuk memasak yang lain jika sedang buru-buru. Beras hanya boleh dimasak menggunakan kayu bakar. Sudah aturan adat." Begitu Ibu RT tempat kami menginap menjelaskan caranya menanak nasi.
Selama persiapan ritual Seren Taun, warga kasepuhan menjadi sangat sibuk. Ada begitu banyak tamu yang datang sampai dengan puncak perayaan Seren Taun: upacara ngadiukeun atau memasukkan dan mendudukkan ikat padi secara simbolik ke lumbung keramat "Leuit Si Jimat" oleh pimpinan adat Kasepuhan Ciptagelar.
"Saat lebaran tidak apa-apa bagi warga kasepuhan perantauan tidak kembali, tetapi saat Seren Taun apapun alasannya mereka harus kembali." Begitu kata Bu RT tempat kami menginap menjelaskan pentingnya ritual Seren Taun bagi mereka.