Lihat ke Halaman Asli

Pengguna Jalan & Demokrasi

Diperbarui: 19 Agustus 2015   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat berkendara saya sering menemui orang-orang yang bersepeda di jalan, khususnya di akhir pekan, begitu kebiasaan di Perth, Western Australia yang saya lihat. Biasanya mereka berseliweran dengan helm pengaman warna-warni khas pesepeda. Mereka memang diberi HAK yang sama dengan pengendara jenis transportasi lainnya untuk menggunakan jalan di Negara Benua ini. Hanya saja saya sering merasa was-was saat hendak mendahului di jalan yang agak sempit, takut tersenggol jatuh, urusannya bisa panjang.

Dibandingkan dengan pengguna jalan lainnya, pesepeda memang terasa begitu inferior. Ingin adu kecepatan? pastilah mereka kalah dengan pengendara bermotor. Bersenggolan?, apalagi, salah-salah bisa nyawa taruhannya. Suatu bentuk kesenjangan antar pengguna jalan terlihat jelas. HAK yang sama bisa-bisa menjadi mubazir ketika secara alamiah ada celah superioritas-inferioritas yang begitu lebar diantara masing-masing pengguna jalan.

Karenanya pemerintah setempat melakukan intervensi. Di beberapa ruas jalan ada jalur khusus untuk para pesepeda. Unsur keselamatan ditekankan dengan regulasi yang harus dipahami para pengayuh kereta angin, misalnya kewajiban memasang lampu atau memakai helm pengaman. Mereka diberi daya untuk mengeksekusi haknya agar tidak terlalu inferior dibanding dengan penngguna jalan lainnya, khususnya kendaraan bermotor. Pemerintah berupaya mempersempit celah kesenjangan dengan kebijakan.

Barangkali seperti inilah cara agar demokrasi bekerja. Bukan hanya pemberian HAK yang setara, tetapi DAYA untuk mengeksekusi hak pun tidak berbeda, atau setidak-tidaknya celah kemampuan tidak terlalu jauh. "Intervensi pengambil kebijakan untuk mempersempit bahkan menutup celah kesenjangan menjadi suatu keniscayaan, begitu jika ingin melihat demokrasi menemukan jiwanya", Kata seorang sopir Taksi asal Asia Selatan yang pernah saya tumpangi.

Karena konon kabarnya, di saat kesenjangan menganga lebar, kaum inferior sangat rentan tereksploitasi. Rentan menjadi semacam wayang yang digerakkan sesuka hati, menjadi kaum yang bersuara dalam bisu, karena suara sesungguhnya milik sang dalang. Sebuah hak tanpa daya, hak yang tidak dapat dieksekusi dari kemandirian individu.

Para pengguna jalan ini mungkin ibarat rakyat banyak. Kaum marginal mirip pesepeda yg begitu inferior. Kaum menengah keatas seperti pengguna kendaraan bermotor, yang begitu digdaya. Di saat kesenjangan begitu menganga & Pemerintah serta kebijakan-kebijakannya tidak berdaya mengurangi celah, kaum marginal mungkin hanya bisa menikmati hiruk-pikuk demokrasi sesaat. Setelahnya demokrasi menjadi milik mereka yang superior.

Saya bisa membayangkan akan seperti apa nasib para pengayuh sepeda yang sering saya lihat jika tidak ada intervensi Negara untuk memberi daya lebih. Mungkin pelan-pelan mereka akan tersingkir oleh raungan kendaraan bermotor yang tak berperasaan, seperti di beberapa kota besar negara-negara berkembang.

Di jalanan kita bisa menemukan potret demokrasi, tapi bisa juga demokrasi semu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline