Menyambut dan melihat kedatangan Paus atau Bapa Suci sangat diharapkan umat Katolik. Sekalipun tidak bisa mendekat dan hanya melihat dari kejauhan. Demikian juga bagi umat Katolik Indonesia.
Oktober 1989 saya mempunyai kesempatan yang cukup luas untuk hadir di Stadion Utama Senayan (sekarang GBK) untuk melihat kunjungan Paus Yohanes Paulus II.
Sayang sekali mendekati hari terakhir sebuah peristiwa mendesak dan penting memaksa untuk tidak berangkat.
Kecewa? Pastilah. Sedih? Tidak juga.
Tahun ini ada juga kesempatan melihat kedatangan dan mengikuti perayaan misa kudus atau Sakramen Ekaristi yang dipimpin langsung oleh Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno.
Namun jatah yang sangat terbatas membuat saya harus menyerahkan pada seseorang yang sangat merindukan melihat dan mengikuti secara langsung misa kudus bersama Paus Fransiskus.
Kali ini tidak kecewa dan sedih.
Ada pertimbangan yang lebih mendesak yang tidak mungkin ditinggalkan sebagai pelayan pastoral gereja.
Kepentingan mendampingi umat yang sewaktu-waktu membutuhkan kehadiran seorang asisten imam atau di tempat lain disebut prodiakon harus diutamakan.
Haruskah merasa gembira di saat yang lain membutuhkan kehadiran kita karena suasana yang sedih?